Seperti Malin Kundang
"Amak tidak habis pikir dengan tingkah kamu, Firdaus. Sejak kamu pulang dari rantau, sikap kamu makin tidak jelas. Amak malu, dengan warga sini makin sering menyindir Amak, kalau Amak punya anak Perjaka Magrib, karena keluarnya hanya waktu Magrib saja" menahan sabar dengan logat bahasa Padangnya Amak Upit, giginya makin kuning dengan terus mengunyah sirih. Seraya dirinya semakin pasrah dengan Firdaus, anak satu-satunya dengan segenap jiwanya telah mewujudkan cita-citanya telah menjadikan, Firdaus seorang Guru.
Siang itu Amak Upit seakan sangat lelah hanya berdiri memandangi lereng perbukitan dari teras beranda depan rumah panggungnya. Tubuhnya semakin kurus tetapi berisi, kulitnya makin mengeriput dan wajahnya makin menua dengan terbalut hijab putih, tetap giginya masih terus mengunyah sirih.
Hampir saban hari dirinya tidak bosan-bosannya menasehati Firdaus seperti otaknya makin tumpul dan kedua kupingnya tuli sering mendengar nasehat Amak Upit, tetap saja hatinya tidak bergeming seakan tertiban batu besar. Sederhana sekali siang itu pakaian yang di kenakan Amak Upit, walau dirinya memiliki banyak perkebunan cengkeh, tetap hidupnya sangat sederhana.
Lihat saja rumah panggungnya bergaya Minang cukup lumayan besar. Lihat saja atap rumahnya, pastinya akan siapa saja membuat terpesona ketika melihat sebagian atap terbuat dari ijuk menyerupai tanduk kerbau, meruncing keatas di ibaratkan seperti harapan setinggi-tingginya Mencapai Tuhan.
Kokohnya undakan anak tangga terletak di setiap pintu depan rumah, tidak sekedar jumlah undakan anak tangga, ternyata setiap satu tangga mempunyai makna berkaitan dengan Agama Islam, yang di anut warga Minangkabau. Hal ini memiliki arti, PercayaNya Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yaitu Allah.
Selalu terbesit dalam hati kecil Amak Upit masih ingin sekali menabung untuk nanti dari hasil perkebunan kopi miliknya. Karena masih ada cita-cita keperluan yang harus di bendungnya sampai saat ini, setelah dirinya sukses mewujudkan cita-cita Firdaus menjadi Guru. Amak Upit ingin sekali bila nantinya Firdaus mendapatkan jodoh, dirinya ingin sekali menggelar pesta adat pernikahan Minang.
Tidak tahu haru sampai kapan otak dan pikiran Amak Upit segera beristirahat dari rasa lelahnya. Di tambah lagi setelah kepulangan Firdaus dari rantau, Amak Upit harus semakin extra mencari uang, karena Firdaus tidak lagi mengajar, sebabnya tidak tahu kenapa, dirinya berhenti mengajar di Jakarta, yang malahan pulang tidak bawa uang dan jadi tambah beban hidup Amaknya. Tentu saja bukan tenaga dan pikiran, akan tetapi bahtinnya Amak Upit juga harus banyak-banyak bersabar.
Firdaus hanya terduduk di kursi dalam kamar di ujung belakang ranjang, duduknya menghadap jendela terbuka lebar tanpa tertutup tirai. Wajah tampannya hanya terdiam perhatikan dari kejauhan lereng perbukitan hijau, yang ada di hadapan berdiri rumahnya.
Hanya terduduk terdiam pandangan dua matanya, hanya masa bodoh mendengar ocehan Amak Upit serasa makij tidak di perdulikan Firdaus. Firdaus lantas makin sabar menahan emosinya lantas beranjak keluar dari dalam kamar makin tidak mau mendengar ocehan Amaknya. Amak Upit hanya berdiri di depan pintu sambil mulutnya mengunyah sirih dan memarahi Firdaus makin menahan sebalnya.