Damar adalah bukti—otentik dan hidup—dari pembangkangan dogma sesepuh-sesepuh tentang larangan pernikahan antara laki-laki Jawa dan gadis Sunda. Ayahnya adalah seorang Jawa tulen—penduduk asli kampungnya sejak zaman Kerajaan Mataram masih beribu kota di Kotagede hingga zaman Tugu Yogyakarta berallih fungsi menjadi spot untuk foto selfie—sedangkan ibunya lahir dan besar di kotanya Desi Ratnasari. Keduanya bertemu di Semarang, jatuh cinta, dan lahirlah dia. Tidak ada yang istimewa dari kisah cinta itu hingga pada akhirnya ayah Damar pulang ke kampung sambil membawa seorang perempuan dan bayi. Orang tuanya syok. Warga kampung geger. Bumi gonjang-ganjing. Langit kelap-kelap. Patih Gajah Mada bangkit dari peristirahatannya. Mengucapkan sekali lagi sumpahnya yang terkenal, Sumpah Palapa, dan di-retweet oleh jutaan orang sehingga berhasil menjadi trending topics. World wide lagi.
Sejak kecil Damar dikucilkan oleh orang-orang dewasa. Dosa orang tuanya seolah-olah harus ditanggungnya sendiri. Itulah yang menyebabkannya menjadi orang yang sangat pendiam. Ray dan Nursal adalah tempatnya bercerita. Dan hanya mereka berdua saja yang tahu apa yang akan dilakukan Damar ketika dewasa nanti. Balas dendam.
Hal terkecil dari keinginan terbesarnya itu telah dilaksanakan oleh Damar dengan terstruktur, masif, dan terencana. Tiap akhir pekan dia selalu pulang dan memamerkan motor gedhenya keliling kampung. Ray sempat memberi usul untuk menambahkan ronjot yang diisi dengan bakso atau mie ayam.
“Kalau dendam yang cerdas. Sekalian jualan biar balik modal untuk bayar angsuran.”
Tentu saja Damar tidak menurutinya. Setelah puas berkeliling desa sambil menikmati ekspresi penuh benci, Damar pun menengok kakek dan neneknya. Dia tetap disambut sebagai seorang raja meskipun dengan resiko akan menerima cibiran dari para tetangga.
Nursal lain lagi. Jika Damar dianggap sebagai tokoh antagonis, maka yang satu ini adalah pahlawannya. Dia pulang kampung tidak sesering Damar. Bukan karena tidak ingin pamer juga, tetapi karena semakin sering pulang kampung, mobilnya akan semakin sering masuk bengkel. Setiap kali Nursal pulang, suasana kampung berubah semeriah tanggal 17 Agustus. Semua bersukacita. Orang-orang berdiri menunggu di luar rumah sambil berharap Nursal melambaikan tangannya ke arah mereka. Yang memiliki anak gadis—yang telah lulus sekolah—saling berlomba memamerkannya dengan mendandani diri mereka secantik mungkin. Berharap sang pangeran berkereta kulit lemon melabuhkan hati padanya. Ketika waktu sholat tiba, masjid tiba-tiba penuh. Imam sholat reguler menyerahkan panggungnya kepada Nursal. Hanya pada saat seperti itulah saf jamaah perempuan lebih banyak daripada jamaah laki-laki.
Sebenarnya di antara ketiga sahabat itu, Ray-lah yang paling berbahagia. Bagaimana tidak? Setiap pulang kampung, dia tinggal memilih mau membonceng Nursal atau Damar. Tak perlu keluar uang bensin. Paling-paling sebagai gantinya hanya sepiring nasi padang atau sebungkus rokok. Sesampainya di kampung pun dia tidak perlu repot-repot keliling desa sambil melambaikan tangan ala miss universe. Toh tidak semua orang akan menyapanya juga. Apalagi dia tidak perlu berpura-pura saleh dengan pergi ke masjid.
“Bagaimana pekerjaanmu di kota, Nak?” Ray memiliki ibu yang masih terlihat dua puluh tahun lebih muda dari usianya. Selain rutin minum jamu, rahasianya yang lain adalah tentang gen. Ada cerita turun-temurun di keluarga besar Ray bahwa dahulu nenek moyang mereka adalah salah satu dari bidadari-bidadari yang turun ke bumi sebelum Jaka Tarub memergoki mereka dan mencuri salah satu selendangnya. “Mau ibu buatkan bodin dan teh panas?”
“Kopi saja, Bu.” Ray mencium kening ibunya dengan penuh hormat. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa Ray tidak mengikuti jejak kedua sahabatnya.