“Ku buka lembaran baru dalam buku kehidupanku dengan senyuman.”
Sepulang dari liburan Naya sudah menyusun beberapa rencana, salah satunya adalah memulai lembaran baru dalam hidupnya, walau terkadang dirinya masih memikirkan tentang Zidan. Hidup tidak akan berakhir hanya karena kejadian ini, itulah yang Naya yakini.
Seperti pagi sebelumnya Naya menyapa kedua orangtuanya yang sedang berada di ruang makan, terlihat Bi Darmi sedang menyiapkan sarapan.
“Mama, Abah.” Sapa Naya dengan senyuman manisnya.
“Iya sayang, gimana liburannya?” tanya Ibu Fatimah yang sedang menggoreng telur.
“Alhamdulillah Naya udah merasa enakan, oh iya Abah Naya mau menyampaikan sesuatu.”
Pak Abu Bakar telihat sedikit kaget dengan ucapan Naya, perkataan Naya seperti bom waktu yang siap meledek kapan saja. “Apa itu Naya?”
“Habis sarapan ya Abah.”
Pak Abu Bakar pun mengangguk tetapi tetap saja terus saja memikirkan apa yang akan disampaiakn putri bungsunya.
“Mama, Mbak Keket udah pulang?” tanya Naya yang sedang memperhatikan sekeliling tapi tak menemukan sang Kakak.
“Udah Mas Indra udah balik dari dinas luar kota, jadi Mbakmu balik sehari sebelum Indra dateng.”
Naya mengangguk perlahan, Bi Darmi pun sudah menyiapkan sarapan berupa nasi goreng, telur dadar dan juga salad.
Pak Abu Bakar dan Ibu Fatimah menyantap nasi goreng sedangkan Naya menyantap salad dan segelas jus alpukat. Selesai sarapan Pak Abu pun mengajak Naya menuju Gazebo yang terletak di belakang rumah.
“Apa yang ingin kamu sampaikan Naya?” tanya Pak Abu Bakar sambil duduk berselonjor kaki menghadap sebuah taman kecil yang tak berada jauh dari gazebo.
Naya terdiam sesaat, Ia mencoba untuk merangkai kata dan menyusun kalimat harus memulai dari mana. Naya menarik napas perlahan kemudian mengembuskannya.
“Naya mau membuka sebuah Biro Jodoh,” Naya berhenti sejenak untuk melihat reaksi sang Abah, Naya terus saja menatap Pak Abu Bakar seolah meminta respon atas ucapannya.
Pak Abu pun seolah membeku, selang beberapa detik Pak Abu menatap Naya “Nay, selama ini apapun yang kamu lakukan selama itu tidak membahayakan kamu, Abah tidak pernah , melarang kamu Nak.”
Naya tersenyum sembari dalam hati membenarkan ucapan sang Abah, “Nay tahu Abah khawatir dengan Naya tapi Abah percaya sama Naya kan?” Naya menggenggam tangan lelaki yang amat Ia sayangi dan tersenyum.