☆ CINTA YANG TERTUNDA
Malam semakin larut, bulan purnama menunjukkan keangkuhan dengan sinarnya menerangi perkampungan kecil yang gelap. Api obor sudah lama padam, tidak ada penerangan sama sekali.
Bayangan manusia berbadan tegap dan kekar berjalan ke arah gudang. Dengan lincah langkahnya menaiki tangga dari batu. Dibukanya pintu dari kayu lebar-lebar, cahaya bulan menyeruak masuk, menerangi isi gudang. Tampak empat orang pria terikat erat di masing-masing tiang kayu penyangga rumah. Wajah mereka kotor dan berminyak.
"Siapa di antara kalian yang bernama Steven?"
Rupanya pria berbadan tegap dan kekar tadi Rizal Amri, pemimpin gerombolan perampok.
"Aku .... aku Steven!"
Steven menyahut dari kegelapan ruangan. Suaranya bergetar karena kekhawatiran dan ketakutan.
"Steven, aku ingin bicara!"
Rizal mendekati tempat Steven diikat. Dia duduk disampingnya. Dia menyodorkan minuman dalam botol ke bibir Steven dan disambut dengan sangat atusias, Steven sangat haus dari pagi dia belum tersentuh air dan makanan. Rizal membagi air kepada Komar,Anto dan Syaiful. Kemudian dia kembali duduk disamping Steven.
"Steven .... kamu pasti ingat dengan nama Amri."
"Ada apa dengan Amri? .... dia masalalu istriku."
Steven menjawab dengan lemah, badannya masih sakit karena ditendang Supri tadi. Energinya habis karena perjalanan ke perkampungan tadi.
"Aku Amri ..... Rizal Amri ... pasti Haida Rokhayah pernah cerita tentang diriku kepadamu."
"APA ....!"
Steven sangat terkejut. Dia nyaris tidak percaya dengan ucapan Rizal kalau saja dia tidak menyebutkan nama asli Haida. Orang yang selama ini mengganggu mimpi Haida. Orang yang sangat dikagumi Haida. Orang yang sangat dekat dengan Haida, tetapi tidak pernah menyentuh tubuhnya.
"Bukankah kamu anggota pasukan khusus militer, Amri?"
Ada sedikit rasa cemburu dalam suara Steven. Itu adalah nama yang selalu Haida sebutkan kepadanya di tahun pertama pernikahan mereka. Rasanya sulit untuk memenangkan hati dan cintanya karena nama itu.
"Benar! ... Aku melarikan diri dari jawa. Aku menembak mati preman yang telah membunuh rekan satu timku. Aku menjadi buron karena desersi dan tindak kriminal."
"Tuhanku ......."
"Kamu tidak perlu khawatir dengan istrimu, Steven. Dia aman bersamaku."
Ya ... Steven yakin. Pria ini Rizal Amri. Cinta pertama Haida di masa dia masih di sekolah tinggi. Hanya keluarga yang tahu nama Haida Rokhayah.
"Aku percaya padamu,Amri. Dia sangat terluka ketika orang tuamu memutuskan cinta kalian. Dia sangat terobsesi denganmu. Di awal pernikahanku dengan Haida, selama satu tahun aku hanya didampingi wanita cantik, tanpa pernah merasakan cintanya. Dia selalu membandingkan diriku dengan dirimu."
"Maafkan aku, Steven."
"Sekarang, apa yang kamu inginkan dariku?"
Steven sudah tidak tahan dengan kondisi tubuhnya yang terikat dan kelaparan. Dia merasa lega dengan keberadaan Haida. Sekarang tinggal memikirkan keadaan dirinya dan tiga rekannya.
"Tenang Steven! .... Aku harus membuat ini seperti natural untuk menyelamatkan dirimu. Mereka orang-orang yang sudah tidak berharap hidup karena menjadi buronan polisi, mereka orang-orang yang siap mati kapan saja. Jadi aku harus membuat mereka percaya kepadaku."
"Aku minta maaf belum memberimu makan. Cadangan makanan kami menipis, hasil kami merampok sudah habis. Sedangkan tanaman dikebun belum bisa dipanen. Kamu sanggup tidak untuk mencarikan beras untuk kami? .... dan memberi uang untuk menyambung hidup kami selama dua bulan?."
"Berapa yang kamu minta?"
"Terserah kamu,Steven. Berapa yang akan kamu berikan."
"Ada berapa orang di kamp ini, Amri?"
"Dupuluh orang."
"Aku sanggup memberi uang sebanyak seratus ribu dollar amerika kepadamu, Rizal."
"Jangan! .... dalam rupiah saja!"
"Ok ... tolong berikan handphoneku. Aku akan transfer sekarang juga."
"Kami tidak punya handphone, Steven. Kami juga tidak punya rekening. Kami bisa dilacak kalau memiliki handphone dan nomor rekening. Kami hanya perlu cash."
"Oh ... ok Rizal. Tapi bagaimana aku bisa menyediakan beras dan uang cash kalau kami masih disini?"
"Aku percaya padamu Steven. Aku harap kamu juga percaya denganku. Kamu besok bersama Supri kekota, dengan mobilmu. Biar Haida bersamaku disini."
"Ok Amri, aku setuju. Tapi lepaskan dulu tali ini, aku tidak bisa bergerak. Badanku sakit semua."
"Tenang dulu Steven!." Rizal Amri keluar dari gudang, dan tidak lama kembali bersama Tigor dan Supri dengan membawa sebakul nasi dan beberapa botol air minum. Tigore melepaskan tali yang mengikat Steven dan teman-temannya. Sedangkan Supri memeriksa kepala Komar yang berdarah, dia tutupi luka yang berdarah tadi dengan daun yang dia kunyah.
Empat orang pria ini makan dan minum dengan lahap, mereka kelaparan dan kehausan selama satu hari ini. Jarak yang sangat jauh untuk di tempuh dengan jalan kaki. Steven tidak terbiasa dengan perjalanan yang sampai puluhan jam tanpa beristirahat.
"Steven... ada hal lain yang ingin kubicarakan denganmu."
"Ada apa, Amri?"
"Menurut Ida, kamu mempunyai wewenang untuk membangun jalan ke Meulawi, tolong pakai kami sebagai pekerja untuk proyekmu. Kami tidak ingin keadaan seperti ini, harus merampok untuk membeli makanan. Kami merampok bukan ingin kaya, tapi karena kami harus bertahan untuk hidup."
"Sepertinya permintaanmu untuk ini agak berat buatku. Karena pekerja kami harus mempunyai identitas diri. Karena tidak mungkin kami tidak bertanggung jawab dengan kesejahteraan pekerja. Identitas diri tadi untuk mengurus asuransi bila terjadi kecelakaan."
"Kami tidak perlu mendapat asuransi. Kami hanya perlu mendapat gaji dan makan. Itu sudah cukup!"
Tigor menyela pembicaraan Steven, dia terlihat sangat antusias sekali untuk bisa bekerja di proyek tambang batubara.
"Aku akan usahakan ... biarkan aku berpikir dulu. Ini perlu proses."
"Ok Steven. Aku pegang kata-katamu. Aku harap kamu bisa membantu kami. Sekarang kalian beristirahatlah!"
"Tigor! ... Supri! ... Kalian berjaga disini! Mereka tidak usah diikat. Biarkan mereka bisa tidur dengan nyaman."
Rizal Amri meninggalkan mereka. Hatinya sedikit lega setelah bertemu Steven. Dia sangat khawatir dengan kondisi anak buahnya, mereka semua punya masa lalu kriminal dan sebagian besar dari mereka adalah buronan polisi didaerah mereka masing-masing. Dia takut tempat ini akan terdeteksi kalau mereka terus menerus merampok.
Harapan besar terlihat dari senyumnya. Seratus ribu dollar amerika, kalau dirupiahkan sekitar satu milyar enam ratus juta rupiah ... !! Angka yang sangat besar bagi mereka. Rizal Amri belum pernah melihat uang sebanyak itu.
Dia membayangkan uang sebanyak itu bisa untuk membiayai makan mereka semua selama satu tahun. Mereka tidak membutuhkan apapun. Mereka hanya perlu untuk makan dan jauh dari pengejaran polisi.
Rizal melangkahkan kaki menaiki tangga kamarnya. Sebenarnya, kamar tempatnya tinggal dan gudang tempat Steven di tahan hanya dipisahkan oleh penyekat dari anyaman bambu. Tidak jauh, masih dalam satu atap.
Dia membuka pintu yang susah di buka karena tidak ada engsel untuk menahan pintu.
Tampak dalam keremangan lampu minyak, Haida masih duduk di bangku tempat untuk tidur, hanya tikar pandan sebagai alasnya.
"Belum bisa tidur Ida?"
Haida menganggukkan kepala seperti anak kecil yang bertemu bapaknya.