Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #3

2 - TANGERANG SELATAN: Sebuah Tugas, Sepenggal Kenangan

Chevrolet Aveo perak tampak melaju di jalanan yang masih lengang. Kerlip lampu jalan, juga beberapa kendaraan, tampak menghiasi gelap. Sayup-sayup terdengar suara azan subuh di kejauhan. Sementara, di pinggir jalan, tampak beberapa orang mulai menggelar lapak. Beberapa tampak mendirikan tenda, beberapa terlihat mengangkut-angkut meja, dan sebagian lainnya mulai menata meja dengan aneka hidangan praktis untuk mengganjal perut. Sandwich isi, risoles, aneka kue dan roti. Dan lainnya. Termasuk juga aneka jajanan pasar “merakyat”, yang sepertinya akan menjadi menu wajib para abdi negara, sesuai dengan himbauan menteri yang mengurusi aparatur bahwa para PNS–Pegawai Negeri Sipil–harus memilih penganan lokal dibanding impor. Walau ini juga masih perlu ditanya lebih jauh, benarkah penjual sandwich isi yang menggelar lapaknya di pinggir jalan itu membuat rotinya dari bahan-bahan impor? Mungkin sebaiknya ditanyakan saja pada instansi yang mengurusi impor beras dan bawang putih meski lahan pertanian di negeri sendiri juga tak kalah luas.

Semakin lama, sepertinya semakin pagi pula orang mengawali aktivitasnya. Dampak dari sebuah “kemajuan” ketika orang-orang memburu peruntungan di kota yang konon lebih menjanjikan. Dan kota yang terbatas mau tidak mau akhirnya memaksa orang untuk menyingkir ke pinggiran. Jarak semakin jauh dan arus pun semakin padat. Namun, kota tidak mau menurunkan egonya. Ia tetap memaksa orang untuk mengikuti ritmenya setiap hari. From eight to four, or nine to five. Lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing paling cepat pukul sembilan malam. Begitu terus setiap hari.

Orang-orang yang tetap ingin bertahan di kota harus menyesuaikan diri. Konon, manusia adalah makhluk yang paling mudah beradaptasi. Mengawali aktivitas sebelum matahari terbit mungkin salah satunya. Mengurangi jam biologis untuk beristirahat adalah salah lainnya.

Wanita berwajah oriental–yang tadi dipanggil Bu Yos–tampak menatap keluar sambil menopang dagu pada jendela dengan tangannya. Jendela mobil dibiarkan terbuka. Kapan lagi bisa menikmati segarnya udara (sekitar) Jakarta kalau bukan di waktu sepagi ini?

Semilir angin menerpa wajahnya, dan membuat sebagian rambutnya jatuh menutupi dahi. Matanya masih tampak mengantuk, tetapi ia berusaha untuk tetap terjaga.

Sebuah suara menyentak perhatiannya. Rupanya ponselnya yang berdering. Ada pesan masuk dari travel yang akan membawanya ke Bandung hari ini. Tertulis di pesan singkat:

Christie, BSD-Bandung, berangkat 04.45, seat 4A.

“Dari siapa?” Yos menoleh dan bertanya. Sepertinya ia juga mendengar bunyi barusan.

“Dari travel. Cuma reminder. Berangkat jam 04.45.” Christie melihat jam di ponselnya yang tertulis 04.30. “Masih lima belas menit lagi, kok. Tempatnya juga sudah dekat.”

Aveo perak itu tampak berbelok memasuki sebuah komplek pertokoan, kemudian berhenti dan parkir di depan sebuah ruko, di sela-sela mobil travel yang juga terparkir.

Christie mengambil tas cangklong yang diletakkan di jok belakang dan memeriksa isinya. Surat undangan, laptop, tablet, surat tugas dan berkas-berkas perjalanan dinas. Lengkap. Ia lalu membuka pintu.

“Tidak ada yang tertinggal, kan?” tanya Yos.

Christie menggeleng. Ia pun keluar. Yos ikut keluar juga.

“Cuma sehari, kan?” tanya Yos lagi.

Christie kembali mengangguk.

“Cuma rapat doang, kok, harus ke Bandung segala, sih? Memangnya di Jakarta saja tidak bisa?” Suara Yos seperti memprotes.

Kali ini Christie menengadah. Ia menatap lekat-lekat pria yang sudah bersamanya lebih dari 10 tahun itu. Masih tetap tampan dan gagah. Masih dengan lesung ala Vic Zhou yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati. Masih dengan sikapnya yang selalu melindungi, seperti yang dilakukannya pada hari ini ketika ia bersedia bangun dini hari hanya untuk mengantarnya ke pool travel.

Lihat selengkapnya