Christie kembali menengadah ketika merasakan sinar matahari yang semakin terang. Kendaraan kali ini sudah memasuki wilayah Jakarta. Terlihat dari beberapa ikon. Seperti gedung mewah sebuah kampus swasta, ataupun tiang pancang yang konon akan dibangun menjadi MRT–mass rapid transportation. Atau sebuah gedung kantor yang lambangnya sudah terlihat dari kejauhan.
Arus lalu lintas masih tersendat. Tampaknya, macet memang sudah harus menjadi bagian tak terpisahkan dari warga yang beraktivitas di Jakarta. Tak terkecuali di jalan tol yang didapuk menjadi jalan bebas hambatan–konon. Kalau begini, lantas apa bedanya dengan jalan biasa yang tanpa pungutan?
Christie kembali mengalihkan pandangan ke layar ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Jarinya dengan lincah menggeser galeri foto. Beberapa memori pun terpampang. Rapat-rapat di kantor, perjalanan dinas ke luar kota, acara makan bersama, munggahan menjelang Ramadan, outbond kantor, dan….
Matanya mendadak basah ketika melihat sesosok dalam foto. Sosok perempuan berjilbab yang tampak keren dan gagah memanggul tas carrier besar dengan scarf yang melilit lehernya, sangat serasi dengan bentang alam indah yang terpampang sebagai latar. Itu adalah foto dua tahun lalu ketika ia mengirim Fitra untuk mengikuti kegiatan outbound yang agak berbeda dari sebelumnya. Itu adalah masa-masa puncak kekesalan Christie pada Fitra yang tingkahnya semakin sulit diatur.
Mau tahu apa saja ulah Fitra? Dimulai dari hal yang sangat sederhana: selalu terlambat. Jam kerja dimulai pada pukul delapan. Toleransi keterlambatan hingga jam sembilan. Dan kapan Fitra ada kantor? Bisa muncul pukul setengah sepuluh saja sudah bagus! Bu Ning, kepala kepegawaian saat itu, tentu saja mengeluhkan perilakunya. Bagian kepegawaian adalah ujung tombak segala peraturan yang mengikat disiplin pegawai. Apa jadinya jika punggawanya sendiri malah sering melanggar aturan? Hanya saja, ia tidak pernah mengutarakannya langsung kepada Fitra. Pembinaan pegawai bagaimana pun dilakukan berjenjang. Kalau sudah begini, siapa lagi yang kena getahnya kalau bukan Christie sebagai atasan langsung Fitra?
Lainnya? Fitra sangat suka jika ada upacara bendera di kantor … karena ia bisa datang siang! Tepatnya … datang siang tanpa merasa bersalah!
Ya. Fitra memang tidak pernah sekalipun menghadiri upacara bendera. Alasannya? Nasionalisme tidak bisa diukur dari hadir atau tidaknya pada saat upacara. Begitu selalu alasannya.
“Kesetiaan pada negara itu diwujudkan dengan tidak mengambil yang bukan haknya!” Begitu dalih Fitra.
Untuk alasan yang ini, Christie memilih no comment. Benar, kok. Upacara seringkali hanya seremonial belaka. Bukti? Apakah ada jaminan bahwa yang menghadiri upacara pasti tidak akan korupsi? Meski untuk hal ini rasanya Fitra pun sedikit meleset. Pasalnya, Biro Kepegawaian pusat selalu meminta daftar hadir para pegawai pada saat upacara. Tentu saja formulir kehadiran itu juga disodorkan ke hadapan Fitra. Dan … Fitra tetap saja menandatanganinya walau tidak hadir.
“Kalau saya tidak tanda tangan, nanti kalian juga yang repot, kan? Karena pasti akan ada teguran dari Pak Menteri ke kita, kan?” Begitu dalih Fitra yang membuat Christie lagi-lagi memilih no comment. Meski demikian, Fitra tidak pernah mau menerima uang transport kehadiran untuk upacara yang memang selalu dianggarkan.
“Terserah pertanggungjawabannya mau kayak apa. Tapi saya nggak mau terima. Kan, saya tidak hadir.”
Yah, untuk yang terakhir, Christie harus mengakui kejujuran Fitra.
Christie memang sengaja mengirim Fitra untuk mengikuti outbond … untuk mendisiplinkannya.
Tidak … tidak. Fitra sama sekali tidak menolaknya. Justru ia yang mengajukan dirinya sendiri. Mungkin ia memang sadar dengan perilakunya yang kelewatan. Bahkan, Christie pun sempat berpikir, jangan-jangan Fitra memang sengaja menyerahkan diri–untuk dihukum. Christie tahu persis kalau Fitra sangat hobi menghindar. Dan Fitra sangat tidak suka diatur-atur. Sebenarnya, sih, lebih ke kritis. Hanya saja, dalam beberapa hal, ia lebih cocok dibilang ngeyel. Christie tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya jika Fitra dipaksa patuh oleh para pelatih yang berasal dari satuan tentara itu.
Faktanya, ternyata Fitra betulan patuh. Setidaknya, itulah yang diceritakannya sepulang dari outbond. Misalnya, ketika ia menurut saja dihukum berjalan jongkok dari barak ke lapangan karena tidak membereskan tempat tidurnya dengan rapi dan salah meletakkan urutan sepatu. Ia juga bercerita sempat dijemur di tengah lapangan dengan posisi setengah jongkok karena lupa menyerahkan ponsel.
LUPA. Fitra tetap kekeuh dengan alasan tersebut karena ponselnya hanya ponsel jadul yang hanya bisa menelepon dan mengirim SMS. Bukan ponsel pintar yang bisa digunakan untuk bermedia sosial, browsing, dan menonton Youtube–dan aneka hiburan lainnya. Yah, Fitra memang tidak tertarik dengan smartphone yang menurutnya hanya untuk stupid people. Bahkan, Fitra sama sekali tidak menyentuh ponselnya selama pelatihan dan baru sadar ketika para trainer melakukan razia mendadak.
Ia akhirnya menyerahkan ponselnya ketika para fasilitator memperingatkan para peserta untuk jujur saja ketimbang nantinya mendapatkan hukuman lebih keras jika ketahuan. Dan Fitra pun menjadi SATU-SATUNYA peserta yang menyerahkan ponsel dan menerima hukuman meski Fitra yakin teman-teman yang lain pun sebenarnya juga ada yang membawa ponsel tetapi tidak mau mengaku.
Waktu itu, Christie tak urung terkejut. Dan sedikit merasa bersalah juga karena tidak menyangka pelatihannya akan sekeras itu. Sekaligus salut juga dengan keteguhan yang ditunjukkan Fitra. Paling tidak, itu membuktikan kalau Fitra memang benar-benar jujur.