Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #5

4 - BANDUNG: Sebuah Amanah

Sebuah taksi memasuki halaman kantor pemerintahan. Tampak papan nama kantor tersebut:

Balai Diklat Wilayah IV, Kementerian Infrastruktur, Jl. Jawa No. 4141-A, Kota Bandung, Jawa Barat.

Halaman kantor itu tampak begitu asri dengan pepohonan yang mengelilinginya. Bagian tengahnya tampak lowong karena memang diperuntukkan parkir kendaraan. Beberapa kendaraan tampak terparkir. Beberapa kendaraan berpelat merah, menandakan bahwa itu adalah mobil operasional kantor. Sebagian lainnya berpelat hitam dengan huruf B, diikuti empat digit angka, dan huruf RF di belakangnya. Tidak usah dijelaskan status kepemilikan mobil berpelat B-RF itu, ya?

Christie tampak keluar dari taksi. Setelah menyelesaikan pembayaran, ia pun berjalan menuju lobi. Beberapa pegawai tampak keluar masuk. Sepertinya sebagian adalah peserta diklat–entah sedang ada diklat apa. Yang jelas, semenjak keluar aturan berpakaian kerja yang baru, pegawai biasa dan peserta diklat menjadi sulit dibedakan karena semuanya mengenakan pakaian seragam: kemeja putih dan bawahan hitam. Mengikuti gaya berpakaian presiden baru terpilih yang senang berpenampilan sederhana dengan pakaian putih-hitam. 

Konon, seragam putih-hitam ini juga menyiratkan kesederhanaan. Bahwa pegawai abdi negara sudah seharusnya mengedepankan gaya hidup sederhana. Tentu ini di luar fakta bahwa kemeja putih pun ada yang harganya selangit. Namun, sebagai pegawai yang baik, mari teladani saja himbauan sang pimpinan tertinggi para PNS, yang juga diteruskan oleh Menteri Infrastruktur yang wajahnya terpampang pada poster banner besar disertai kalimat yang mengingatkan empat hal kepada para pegawai di lingkungan instansinya; ditulis besar-besar, 4 BIG NO’S:

NO BRIBERY

NO KICKBACK

NO GIFTS

NO LUXURIOUS LIFESTYLE

Christie berhenti untuk melihat poster besar yang dipasang di depan pintu yang penampilannya begitu mencolok itu. Bibirnya tersenyum getir. Karena ia sangat mengenal jelas pria berwibawa yang wajahnya terpampang di poster itu.

Menteri Infrastruktur di kabinet pemerintahan yang baru, tak lain adalah mantan atasan tertinggi di unit organisasi tempat Christie bekerja: Direktur Jenderal Perencanaan Wilayah. Tepat ketika masa purnatugasnya tiba, ia diangkat menjadi menteri. Ironisnya, justru 500 pegawai mantan anak buahnya harus hengkang dari Kementerian Infrastruktur. Tidak peduli meski para pegawai Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah adalah yang pertama kali memberikan ucapan selamat.

“Chris! Udah lama sampainya?”

Sebuah suara diikuti tepukan di pundak sontak membuat Christie menoleh. Seorang wanita muda berusia pertengahan 30-an tahun dengan rambut pendek cepak, kemeja putih yang dilapis sweater abu-abu, celana hitam, dan memanggul tas ransel hitam Bodypack di sebelah pundaknya, tampak tersenyum.

“Gya!”

Christie langsung memeluk Gya.

“Kamu sampai sini jam berapa?” tanya Christie setelah melepas pelukannya.

“Baru aja.” Gya tersenyum.

Beberapa PNS berseragam putih hitam tampak masuk. Sebagian menoleh dan menyapa Christie dan Gya sambil tersenyum.

“Eh, udah sarapan belum?” tanya Gya.

Christie tidak menjawab. Hanya alisnya yang terangkat.

“Sarapan dulu aja, yuk.” Gya menarik tangan Christie dan melangkah keluar.

“Eh?” Christie agak tersentak. Namun, ia tetap mengikuti langkah Gya yang menariknya keluar.

“Masih lama, kan, rapatnya?” Gya menunjukkan jam tangannya. “Dah. Sarapan dulu aja. Sambil cerita-cerita.”

“Cerita apaan?” Christie bingung.

“Ya apaan, kek. Gimana rasanya jadi eselon III.” Gya terus menarik Christie. “Nggak nyangka, temen seperjuangan gue dulu, sekarang udah jadi pejabat. Ciyeee….” Gya tertawa sambil menggoda Christie.

“Dih … apaan, sih? Biasa aja kali….”

Gya kembali tertawa. Keduanya pun berjalan melawan arus para berseragam putih hitam yang berjalan masuk.

Christie duduk dengan wajah gelisah di depan Bu Ning. Ia tampak menunduk. Raut wajahnya menunjukkan sikap serba salah. Ia masih tidak percaya dengan yang didengarnya barusan. Bu Ning … ingin merekomendasikannya ke tim Baperjakat—Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat?

“Umurmu berapa, sih?” tanya Bu Ning.

“Umur saya 37 … mau 38 di tahun ini.” Christie menjawab canggung.

“Berarti kamu yang paling tua, kan?”

“Masih lebih tua Pak Iwan, Bu.” Christie mencoba bercanda.

Bu Ning tertawa. Pak Iwan memang pegawai paling senior di bagian kepegawaian. Dan yang paling paham juga tentang seluk-beluk urusan kepegawaian. Sayang, pendidikannya hanya sampai setingkat SMA. Makanya, sampai hampir usianya yang jelang pensiun ia masih berstatus sebagai staf biasa. Mungkin lain ceritanya jika di tengah masa kerjanya ia menyempatkan diri untuk kuliah S-1. Entah kenapa ia tidak juga melanjutkan pendidikannya … dan entah kenapa pejabat-pejabat terdahulu tidak ada yang mendorongnya untuk melanjutkan kuliah. Sungguh sayang, karena orang seperti Pak Iwan sebenarnya sangat potensial untuk organisasi.

Bu Ning menatap dalam Christie yang tampak menunduk. “Saya melihat kamu punya potensi, Chris. Kamu bisa memimpin teman-temanmu.”

Lihat selengkapnya