Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #7

6 - BANDUNG: Yang Kembali

Seorang pria yang bertugas menjaga loket tampak tengah mengobrol santai dengan rekannya yang bertugas mengumpulkan berkas. Sesekali mereka tertawa. Sesekali pula mereka menatap ke depan. Tampak lobi kantor yang sepi. Hanya tampak Christie dan Gya yang tengah duduk di sofa ruang tunggu. Sofa lobi memang berhadapan persis dengan loket.

Gya menoleh dan menatap teman yang sudah dikenalnya sejak belasan tahun lalu itu, sejak mereka masih menjadi CPNS—Calon Pegawai Negeri Sipil. Gya sangat mengenal Chrisitie. Hubungan pertemanan mereka memang dekat meski tidak pernah berada di unit organisasi yang sama. Bahkan, ketika Gya mulai bertualang menjajal balai-balai di luar Jakarta, mereka tetap saling kontak.

Seperti sekarang, ketika sudah beberapa tahun belakangan Gya ditempatkan di Bali. Setiap kali Christie mendapatkan tugas ke Bali, Gya pasti langsung menyediakan diri untuk menjadi tour guide. Malam hari selepas jam kerja, mereka biasa hang out menjajal tempat-tempat gaul. Meski kadang “kebebasan” mereka kerap “terganggu” jika Christie mengajak Fitra.

Oh, ya. Tentu saja Gya mengenal Fitra. Terutama semenjak Christie mulai menjabat eselon IV di Bagian Kepegawaian. Sebagai bawahan Christie, Fitra tentu sering dilibatkan jika Christie mendapatkan tugas. Termasuk ke Bali. Walhasil, Gya pun akrab juga dengan Fitra.

Hanya saja, karena “kondisi” Fitra yang “penuh keterbatasan”, Gya harus rela mengurangi porsi hiburan gaulnya jika Christie mengajak Fitra. Meski Gya pun juga punya ide jika Fitra ikut serta, yaitu alih-alih ke tempat hangout, Gya malah mengajak untuk menjajal adrenalin saja sekalian dengan wisata alam. Namun, kalau sudah begini, malah nyali Christie yang jadi ciut. Akhirnya, pilihannya antara Gya dan Christie ke kafe malam hari tanpa Fitra, atau Gya dan Fitra menjajal arung jeram tanpa Christie. Atau … ya cari saja tempat netral yang semua bisa masuk.

“Chris?” panggil Gya.

Christie menoleh dengan ogah-ogahan.

“Jangan terlalu memaksakan diri,” ujar Gya.

“Maksudnya?” Christie tampak menggeliat seperti ingin membetulkan posisi duduknya, tetapi ia malah semakin menyandar.

Gya menatap gestur temannya itu. Ia tahu persis kalau Christie pasti sangat capek. Memang, sih, masih Senin. Namun, yah … Gya juga paham dengan gejolak yang tengah terjadi di instansi tempatnya bekerja itu.

“Kalau nggak ada tiket, ya nggak usah berangkat. Nggak usah memaksakan diri gitu. Kamu juga nggak bawa lembar SPPD, kan?”

Christie kembali menghela napas. “Urusan kayak gitu gampang. Biasanya juga SPT sama SPPD bisa menyusul. Jangankan menyusul. Tahu-tahu ada di depan mata untuk ditandatangani, meski sayanya lupa apa pernah ke situ, juga sering.” Ada nada sinis dalam kata-katanya. Tapi memang benar, kok. SPT—Surat Perintah Tugas—kadang disusulkan jika kegiatannya sangat mendesak. Sedangkan untuk lembar SPPD—Surat Perintah Perjalanan Dinas…. 

Pendeknya, orang-orang yang ada di bagian proyek selalu punya cara untuk memperoleh cap basah di lembar SPPD.

Gya tersenyum melihat Christie. Ia tampak coba berempati. “Ditjen Perencanaan Wilayah benar-benar akan berpisah, ya?”

Christie menoleh sekilas, lalu tersenyum malas-malasan. “Tanya Pak Ferdi aja.”

“Kenapa?” Gya tidak mengerti.

“Bukannya udah jadi rahasia umum, ya?” Christie kembali menoleh sekilas. “Pak Ferdi, kan, pengen jadi menteri. Menteri Perencanaan Wilayah.”

Gya terbelalak. “Hah?”

“Tapi, kalo jabatan menteri itu terlalu tinggi, paling enggak jabatan eselon I … dapatlah.” Christie tertawa sinis.

Gya menatap Christie dengan raut wajah semakin kebingungan. “Pede bener dia pengen jadi menteri?” Gya menggeleng-geleng.

“Namanya juga orang ambisius, Gy.” Christie lagi-lagi sinis. “Semua juga tahu kalau dia yang paling getol melobi.”

“Jadi, rapat di Yogya besok itu untuk membahas pemisahan ditjen?” Gya mencoba menyimpulkan.

Christie mengangkat bahu. “Entah. Aku nggak ngerti. Setahuku, draf organisasi untuk kementerian baru udah final.” 

Gya kembali terbelalak. “Jadi, semua tinggal tunggu sah saja?”

Christie, untuk kesekian kalinya menghela napas. “Munculnya Kementerian Perencanaan Wilayah pada saat pengumuman kabinet kerja itu hanya puncaknya. Salah besar kalau kamu berpikir kalau orang-orang baru kelabakan setelah pengumuman kabinet.” Christie kembali menoleh. “Tidak ada yang namanya isu. Semua sudah direncanakan. Bahkan jauh sebelum pemilu.”

Gya menatap Christie dengan penuh kebingungan. “Berarti … lobi Pak Ferdi itu…?”

Christie tersenyum sinis. “Orang kayak dia itu jaringannya ke mana-mana. Nggak usah heran kalau dia bisa menyusup ke tim pembentukan kabinet baru. Semua dugaan ke arah situ.”

Gya kembali menyandar. Pandangan matanya jadi ikut menerawang. Tentu saja Gya juga tidak menutup mata dan telinga terhadap isu-isu yang terjadi. Pemisahan Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah hanya seperti membenarkan selentingan yang sering terdengar bahwa orang-orang di sana sudah lama merasa berbeda dengan unit-unit organisasi lain di Kementerian Infrastruktur. 

Tidak seperti unit organisasi lainnya, bidang kerja Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah lebih ke membuat produk-produk software seperti rencana, kebijakan, atau peraturan. Bukan produk fisik seperti unit organisasi lain, seperti bangunan sarana dan prasarana seperti di tempat Gya, misalnya. Konon, karena perbedaan itulah makanya banyak yang berpikir untuk berpisah saja dari Kementerian Infrastruktur. 

Orang-orang di Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah terkenal vokal. Tentu saja tidak semuanya. Tentu saja orang-orang “vokal” adalah yang memiliki akses untuk bersuara: para pejabat, para pemegang proyek, para pegawai yang merasa diuntungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan selama ini, para pegawai yang selalu ada di front terdepan pada setiap rapat-rapat pembahasan. Hanya saja, apakah para “vokalis” itu merepresentasikan suara seluruh pegawai di sana?

Gya menatap ke arah lorong yang menghubungkan dengan pintu. Beberapa pegawai tampak mulai masuk kembali. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.45. Sepertinya banyak yang sudah selesai istirahat dan kembali ke ruang kelas masing-masing untuk bersiap mengikuti materi berikutnya. Meski ngaret masih tetap menjadi kebiasaan, beberapa diklat menerapkan aturan disiplin yang ketat. Sebagian pegawai tampaknya mulai takut dengan ketegasan panitia.

“Aku aja yang terlalu naif, Gy,” lanjut Christie.

Gya kembali menoleh. Tampak sahabatnya itu seperti semakin tidak bersemangat.

Mata Christie kembali seperti menerawang. “Aku hanya menjalankan perintah. Dari sejak awal … aku cuma menjalankan perintah.”

Lihat selengkapnya