Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #9

8 - BANDUNG: Yang Masih Tersisa

Kamar di lantai tiga ini adalah satu-satunya yang terisi. Lainnya kosong meski seminggu–atau dua minggu–ke depan balai diklat ini ramai dengan orang. Diklat-diklat untuk PNS memang mulai diselenggarakan sejak awal tahun. Lokasinya bermacam-macam dan salah satunya adalah di Bandung.

Bukan hanya itu. Belakangan, muncul surat edaran dari menteri yang mengurusi aparatur negara agar rapat-rapat di hotel dikurangi. Alasannya, karena–lagi-lagi–PNS dituntut untuk hidup sederhana. Penyelenggaraan kegiatan di hotel (yang dianggap) mewah dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan itu. Makanya, balai-balai diklat pun mulai difungsikan secara optimal untuk menampung kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan di hotel.

Tentu saja, balai juga harus mempercantik diri agar layak menjadi tempat kegiatan yang tidak kalah dengan hotel. Itu sebabnya balai diklat di Bandung ini direnovasi. Lantai tiga yang sebelumnya terbengkalai kini mulai difungsikan juga sebagai kamar. Hanya saja, karena lantai tiga masih berantakan, tidak ada peserta diklat yang ditempatkan di sana. Namun begitu, lantai tetap tersedia untuk tamu dadakan yang hanya butuh kamar. Dengan catatan, mereka tidak terganggu dengan suasana yang berantakan.

Jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. Kurang sedikit, sih. Beberapa kantong belanjaan terhampar di kasur. Tadi, Christie dan Gya menyempatkan diri untuk pergi ke salah satu tempat perbelanjaan yang tidak jauh dari sana. Untuk tugas dadakan yang tidak sempat pulang, mau tidak mau harus membeli lagi beberapa kebutuhan terutama pakaian ganti–termasuk pakaian dalam.

Suara air pancuran terdengar dari kamar mandi. Berpadu dengan deru kereta api dari rel yang memang berada tepat di belakang balai, dan bising pesawat terbang menuju bandara Halim Perdanakusuma yang sesekali terdengar

Christie tampak duduk di meja belajar yang ada di kamar. Di hadapannya terbuka laptop. Tentu saja ia tidak sedang belajar, melainkan memeriksa beberapa dokumen terkait reorganisasi. Ada beberapa versi yang masing-masing tersimpan di folder berbeda, yang semuanya sudah mulai disusun semenjak awal tahun 2014. Sengaja, untuk mengejar pemilu pada bulan April, atau kalau memang belum selesai, masih bisa dikejar hingga sebelum pemilu presiden pada bulan Juli. Mumpung pergantian pemerintahan, kenapa tidak sekalian saja masukkan usulan reorganisasi?

Reorganisasi pada Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah memang perlu dilakukan. Dasar pemikirannya adalah fakta bahwa selama ini produk-produk perencanaan hanya menjadi macan kertas karena tidak ada sistem kontrolnya. Atas dasar itulah, organisasi perlu dipecah menjadi dua: yang satu mengurusi perencanaan, dan satunya lagi menangani pengendalian pemanfaatan. Kedua draf ini sudah selesai dan disetujui pimpinan–Direktur Jenderal Perencanaan Wilayah yang saat itu menjabat. Sudah pula dikirimkan ke Menteri Infrastruktur pada saat itu. Meski belum ada respons, draf tersebut sudah cukup menjadi masukan untuk diajukan ketika pergantian kabinet nantinya. 

Ditambah, ternyata Pak Direktur Jenderal adalah yang ditunjuk Presiden untuk menjadi Menteri Infrastruktur selanjutnya–menggantikan yang lama. Jadi, harusnya, semua berjalan sesuai rencana. Harusnya, sih. Karena, perkembangan yang terjadi selanjutnya malah mengejutkan. Karena … unit organisasi yang dulunya dipimpin oleh Menteri Infrastruktur sekarang, justru harus keluar dari Kementerian Infrastruktur. Setega itukah seorang pimpinan menendang anak buahnya sendiri?

Dering telepon membuat Christie tersentak. Pikiran yang berkecamuk di benaknya sontak buyar. Pandangannya pun beralih ke layar ponsel yang diletakkan di samping laptop. Rupanya, Yos yang menelepon. Christie pun mengangkatnya.

“Halo?” Tangan kiri Christie tampak memegang ponsel, sementara tangan kanannya sibuk menggerak-gerakkan mouse.

“Halo? Sayang?” Terdengar suara dari seberang telepon.

“Iya.” Christie menjawab singkat. Konsentrasinya terpecah antara menerima telepon dengan melihat layar laptop di depannya.

“Kamu beneran masih di Bandung?” Suara Yos kembali terdengar.

“Kan, tadi aku udah kirim WA,” jawab Christie sambil matanya tetap fokus menatap layar laptop.

“Iya. Ngerti. Tapi kamu juga belum jawab pertanyaanku.”

“Yang mana?” Tangan Christie berhenti di salah satu folder. Tampak di layar beberapa file, tetapi dibedakan berdasarkan klaster dengan nama khusus mulai dari “DJ-1” hingga “DJ-4”. Untuk penyimpanan soft-file, Christie memang rapi.

“Itu rapat apa? Apa kamu benar-benar harus datang?”

“Ya iyalah, Mas. Aku ditelepon langsung sama Pak Direktur.” Christie tampak mengernyit. Wajahnya tampak ragu. Ia kemudian membuka folder yang lain, dan tampak beberapa file dalam bentuk PDF yang terselip di antara sekian file dalam format Words. Ia kemudian membuka salah satu file PDF tersebut dan terpampanglah hasil pemindaian sebuah surat keluar yang telah ditandatangani Direktur Jenderal, ditujukan kepada Menteri. Matanya semakin mengernyit seolah memikirkan sesuatu.

“Sehari doang?”

“Sampai Jumat.”

“Nggak usah pulang aja sekalian!”

Christie pun terkejut. Ia memindahkan ponsel ke tangan kanan, lalu berdiri menjauhi laptop. Suara pancuran dari kamar mandi sudah berhenti. Tampaknya Gya sudah selesai mandi.

“Maksudnya apa, Mas? Aku, kan, lagi tugas. Memangnya aku bisa nolak?” Nada suara Christie mulai terdengar kesal.

“Ini anak-anak kamu tinggal terus.” Suara Yos juga tak kalah kesal.

“Terus aku harus ngapain? Menolak berangkat, seperti yang aku dulu nggak jadi ke Jepang itu?”

Lihat selengkapnya