10 Maret 2015
Christie berjalan turun dari tangga menuju lobi. Penampilannya sudah rapi dengan kemeja putih dan celana hitam. Sama seperti kemarin. Tangan kanannya memanggul tas cangklong, sedangkan tangan kirinya menenteng tas plastik bungkus belanjaan. Lobi masih tampak sepi. Maklum, masih beberapa menit sebelum pukul tujuh, soalnya. Sedangkan jam kerja baru dimulai pukul delapan. Itu pun mungkin masih banyak yang datang terlambat. Meski demikian, seseorang sudah duduk di sofa ruang tunggu. Kehadirannya tentu saja mencolok karena ia adalah satu-satunya orang di sana.
“Aku bayar dulu, ya?” Gya mencolek Christie dan menuju loket. Gya juga sudah rapi. Penampilannya sama dengan kemarin, juga dengan kemeja putih dan celana hitam. Dan sweater abu-abu yang melapisi kemejanya.
Christie menoleh, lalu mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju ruang tunggu dan menghampiri orang yang sedari tadi duduk bergeming. Di tangannya terdapat buku yang begitu serius dibacanya; buku bersampul anak laki-laki yang duduk termenung dengan latar belakang reruntuhan gedung seperti habis terkena bom. Dan sepertinya anak laki-laki dalam sampul buku itu memang bernasib malang harus kehilangan tempat tinggalnya, mungkin juga keluarganya. Setidaknya, itulah yang tertebak jika melihat judul buku yang tertulis di sampulnya: “JALUR GAZA: TANAH TERJANJI, INTIFADA, DAN PEMBERSIHAN ETNIS”.
Fitra sepertinya terlalu hanyut ke dalam buku di tangannya. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Christie yang sudah berdiri di depannya.
Christie sendiri hanya berdiri sambil menatap Fitra. Bibirnya menyungging senyum tipis. Diam-diam ia merasa kagum. Ternyata masih ada orang yang tetap mempertahankan idealismenya meski sudah meninggalkan jauh dunia aktivisme bertahun-tahun lalu.
“Eh, Fitra. Dari jam berapa?” Gya tahu-tahu di belakang Christie. Rupanya ia sudah selesai menyelesaikan pembayaran di loket.
Fitra menengadah. Ia segera menutup bukunya dan berdiri. “Belum lama, kok.” Ia tersenyum. Kemudian melirik Christie sekilas. Ada sedikit rasa canggung juga.
Christie balas tersenyum, lalu menatap Fitra. Hari ini, Fitra mengenakan jilbab berwarna biru terang, berpadu dengan jaket olahraga beresleting separuh dari dada ke atas yang ditutup rapat. Corak jaketnya terdiri dari dua warna: putih di bagian atas dan biru di bagian bawah. Senada dengan warna jilbab yang diulurkan menutupi dada. Tampak pula kaos abu-abu yang dipakai di balik jaket, terlihat menyembul di bagian bawah jaketnya yang berukuran pas di badan, juga sedikit terlihat di pergelangan tangan. Udara Bandung memang dingin. Tidak salah melapis pakaian dengan jaket.
Seperti biasa, Fitra mengenakan bawahan berupa rok panjang, kali ini berwarna hitam. Ditambah sepatu trekking berwarna abu-abu, penampilan Fitra nyaris sama seperti penampilannya ketika mengikuti outbound dulu. Terlihat keren dan gagah, sangat cocok seandainya setelah ini–misalnya–tiba-tiba Fitra berubah pikiran untuk bergabung saja dengan kelompok demonstran (kalau ada) yang longmarch ke depan Gedung Sate sambil membawa bendera Palestina.
“Coba di kalau di kantor kamu juga datang sepagi ini, Fit.” Tiba-tiba Christie berkata.
Fitra sontak menoleh. Namun, ia memilih untuk tidak menanggapi.
“Yuk,” ajak Fitra.
Ketiganya kemudian berjalan keluar.
Peugeot 405 berwarna putih tampak terparkir di depan gedung. Fitra menekan kunci remote dan kemudian terdengar bunyi seperti terbuka. Ia kemudian berjalan ke bagian bagasi belakang dan membukanya.
“Ada barang yang mau ditaruh di sini?” Fitra menoleh. Christie tampak sudah berdiri di sampingnya.
“Ini?” Christie menunjukkan plastik yang ia tenteng.
“Bisa.” Fitra mengangguk.
Christie lalu menyelipkan plastik berisi pakaian itu ke dalam bagasi. Bagasi mobil sudah sangat penuh.
“Masih cukup nggak?” Gya tiba-tiba kembali muncul di samping Christie. Kepalanya tampak melongok-longok melihat ke dalam bagasi.
“Kalo nggak muat, taruh di kursi belakang juga nggak apa-apa, Mbak,” tawar Fitra.
“Oke.” Gya menjawab singkat dan langsung masuk ke kursi belakang, lalu duduk dan menutup pintu.
Christie bengong melihat tingkah Gya. Kalau Gya duduk di belakang … berarti ia harus di depan di samping Fitra, dong?
Christie melirik ke depan. Tampak Fitra membuka pintu depan dan menyalakan mesin, lalu membuka jendela. Christie tampak seperti terpaku menatap Fitra. Jujur, ia masih merasa tidak enak. Ada persoalan di antara mereka yang masih harus diselesaikan.