Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #14

13 - BANDUNG: Dialektika

Kali ini giliran Fitra yang merasa gelisah. Bagaimanapun, Christie pasti tengah memikirkan pekerjaan yang ditinggal di kantor. Meski Fitra juga sangat membenci yang dikerjakan Christie saat ini. 

Draf reorganisasi Ditjen Perencanaan Wilayah. Itu yang tengah dikerjakan Christie dan timnya. Dan itulah yang menjadi pangkal-muasal berpisahnya organisasi dari Kementerian Infrastruktur. Ya, kan? Lalu 500 pegawai yang ada di sana ikut terseret. Termasuk Fitra.

“Teman-teman … apa kabar, Bu?”

Christie menengadah. Tampak Fitra menurunkan koran yang dipegangnya. Sorot mata Fitra tampak gugup ketika beradu pandang dengan Christie. Ia lalu menunduk. Ia merasa risih. Sekaligus merasa bersalah juga.

Christie tidak langsung menjawab pertanyaan Fitra. Ia lebih tertarik melihat bahasa tubuhnya.

“Teman-teman….” Christie berhenti sebentar. Ia benar-benar penasaran dengan reaksi Fitra. Sayang, Fitra hanya menunduk. “... ya … kerja seperti biasa.”

Fitra tampak terdiam. Air mukanya semakin menunjukkan kegelisahan. “Yang tadi itu Alfi, kan?” Akhirnya keluar juga suaranya.

Christie masih menatap Fitra. Kali ini dengan tatapan lebih tajam. “Kirain kamu udah nggak peduli lagi sama kantor, Fit.”

“Kalian juga nggak peduli sama saya, kan?” Fitra menengadah. Kali ini Fitra tampak berani balas menatap tajam Christie.

“Jangan terlalu keras kenapa, sih?” sindir Christie.

“Keras?”

“Sikapmu terlalu keras, Fit. Kamu pikir cuma kamu yang kena dampak dari isu mutasi ini?”

Fitra semakin tajam menatap Christie. “Kalau begitu, kenapa kalian lanjutkan pekerjaan itu?”

Christie tidak menjawab.

“Perintah atasan?” tembak Fitra. “Atasan yang mana? Menteri Infrastruktur? Yakin?”

Christie lagi-lagi tidak menjawab. Kalau Fitra sudah seperti ini, artinya ia dalam kondisi siap untuk mendebat siapapun. Dan akan panjang. Christie tidak dalam kondisi siap saat ini. Gya hanya bisa terdiam sambil memperhatikan kedua temannya yang mulai panas itu.

“Sudahlah, Bu. Memangnya apa, sih, arti seorang Fitra?” Nada suaranya terdengar sinis. “Saya bukan siapa-siapa. Bukan pejabat, bahkan bukan pegawai andalan kesayangan bos-bos juga.” Fitra melipat koran di tangannya. “Diskusi, tuh, sama Raffi. Atau Iqbal. Dan lainnya yang termasuk ‘Tim Khusus’.” Fitra menjentikkan sebelah tangannya membentuk tanpa petik. “Mereka orang-orang pintar. Nggak kayak saya yang bolak-balik bikin masalah terus.”

Fitra menenggak habis minumannya “Tapi, kalau Ibu bilang saya keras, rasanya saya perlu sedikit meralat.” Fitra melipat koran yang sedari tadi dipegangnya. “Saya bukannya keras. Saya hanya tidak suka melihat ketidakadilan. Entah di Palestina,” ujar Fitra sambil meletakkan koran di atas meja, tampak terlihat artikel perang Gaza tahun 2014 yang tadi dibacanya. “Entah di kantor kita,” lanjutnya.

Fitra kemudian berdiri dan melengos keluar.

Ruang tunggu bengkel hari itu kosong. Makanya, Fitra pun dengan leluasa membuka laptopnya. Ia duduk di sofa dengan tatapan serius yang tertuju pada laptop yang ia taruh pada meja kecil di depannya.

Kuliahnya memang sudah terlambat. Seharusnya, ia sudah bisa lulus pada Agustus 2014 yang lalu. Dan sudah aktif lagi di kantor pada September 2014 sebagaimana durasi tugas belajar yang hanya 13 bulan. Memang, sih, perkuliahan jenjang S-2 normalnya berlangsung dua tahun. Namun, program beasiswa dari salah satu lembaga pemerintah yang diikuti Fitra itu sudah merancangnya sedemikian rupa sehingga bisa diselesaikan hanya dalam waktu 13 bulan, tidak seperti program reguler yang 24 bulan. Instansi tempat kerja pun rasanya tidak mau terlalu lama melepas pegawainya di luar. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan banyak yang mengantre beasiswa juga.

Fitra juga sebenarnya tidak berniat terlalu lama kuliah. Toh, materi perkuliahan untuk tiga semester, khusus untuk para PNS penerima beasiswa, nyatanya bisa dipadatkan sehingga bisa selesai semua sebelum pergantian tahun ajaran 2014. Lagipula, mengerjakan tesis bisa disambi juga dengan mengambil mata kuliah yang tinggal satu. Kalaupun terlambat, setidaknya cukup 18 bulan saja. Kalau masih terlambat juga, yah … bisalah mengikuti jadwal kelas reguler. Namun, semester terakhir harus dibayar sendiri.

Saat ini, Fitra pun telah membayar sendiri uang kuliahnya. Ia terpaksa menggunakan anggaran tesis yang diberikan terpisah oleh lembaga donor. Agak sayang juga, sih. Karena, jika Fitra lulus tepat waktu, uang tesis yang berjumlah tujuh juta rupiah itu bisa dibawa utuh. Bahkan, Fitra pun masih menombok karena biaya per semesternya adalah 8.125.000 rupiah.

Tangan Fitra tampak lincah menggerak-gerakkan mouse. Sayangnya, otaknya hari ini tidak terlalu lincah berpikir. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan Christie! Gara-gara tadi ia sempat bersitegang dengan Christie, isi kepalanya buyar.

Sebuah televisi berlayar cembung di pojok ruangan tampak menyala. Sudah menyala sejak Fitra masuk ke sini, sih. Mungkin sebelumnya ada orang di ruangan ini. Atau mungkin istri Pak Saepul yang menyalakannya. Istrinya memang selalu menyambangi bengkel tersebut setiap hari untuk mengantarkan makan siang.

Televisi menayangkan siaran berita. Entah berita apa, karena kedua telinga Fitra tersumpal Sennheiser. Kabelnya menyambung pada laptop. Adapun kedua earphone-nya tersembunyi di balik jilbab biru Fitra. Ia memang biasa bekerja sambil mendengarkan musik. Iya. Musik. Tidak salah, kok. Fitra memang menyukai musik. Mungkin agak meleset dari bayangan kebanyakan akhwat yang biasanya anti musik. Dan kau akan terkejut kalau melihat playlist yang kerap terpampang pada Winamp-nya: Nirvana, Pearl Jam, Radiohead, Green Day, Oasis, Linkin Park, yang agak soft paling Coldplay.

Bagi Fitra, musik adalah stimulus paling manjur untuk merangsang otaknya yang mampet. Hanya saja, pertengkaran dengan Christie sepertinya tidak mampu ditembus Kurt Cobain dan kawan-kawan. Sebenarnya bukan pertengkaran tadi, sih, penyebabnya. Melainkan akumulasi dari beban pikiran yang mengendap di kepalanya selama berbulan-bulan. Semenjak pengumuman kabinet oleh presiden baru. Semenjak pergantian menteri di instansinya. Semenjak bos tertinggi di unit organisasinya “naik jabatan” dengan penunjukan langsung oleh presiden.

“Oiy! Serius amat?” 

Fitra tersentak ketika tiba-tiba ada yang mencoleknya. Ia pun melepas Sennheiser dan menoleh ke arah suara yang nyaris berteriak itu. Karena Fitra mendengarnya di sela-sela “American Idiot” yang memekak dari earphone, berarti orang itu pasti berteriak.

“Makan dulu, nih.” Ternyata Gya. Ia duduk di samping Fitra dan menyodorkan sebuah kotak makanan dengan merek sebuah restoran yang terkenal dengan masakan Jepang-nya.

Fitra tersenyum. “Makasih, Mbak.” Ia membuka kotak, kemudian mengeluarkan sumpit dari bungkusnya, mematahkannya, dan mulai bersantap.

“Christie yang beliin buat kamu. Katanya, kamu pasti milih yang bumbunya blackpepper,” terang Gya.

Fitra berhenti menyuap, kemudian menoleh.

“Kenapa?” tanya Gya.

Fitra menggeleng. “Makasih,” ujarnya pelan.

“Bilang terima kasihnya ke Christie, bukan ke saya.”

Fitra menunduk dan kembali menyantap makanannya.

Gya kemudian di sofa bersandar sambil matanya menatap layar televisi. Siaran berita masih berlangsung.

“Pemirsa, polisi memperketat pengamanan, terutama di lokasi-lokasi strategis sehubungan dengan dengan maraknya ancaman teror oleh kelompok radikal.”

Suara penyiar itu kali ini membuat Fitra ikut menoleh. Tampak di layar kaca seorang polisi tampak dikerubungi oleh para wartawan.

“Kami telah mendeteksi pergerakan kelompok-kelompok yang berpotensi mengancam keamanan negara. Beberapa dari mereka telah kami amankan berikut barang bukti yang menunjukkan keterkaitan mereka dengan kelompok teroris internasional.”

Polisi itu berkata sambil berlalu. Para wartawan yang tampaknya belum puas terus mengekorinya.

“Beritanya nggak enak.” Gya mengambil remote dan memindahkan saluran televisi. Kali ini, sebuah acara variety show dengan host latah yang terpampang di layar.

Lihat selengkapnya