Jam digital pada dashboard menunjukkan pukul satu siang. Lebih 17 menit, tepatnya. Perjalanan sudah mencapai Cibiru. Tinggal sedikit lagi bertemu putaran, lalu balik arah untuk berbelok ke timur menuju arah Rancaekek. Hanya saja, arus kendaraan hari ini macet luar biasa.
Tadi, di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta menjelang Bundaran Cibiru, arus mulai tersendat. Dan semakin lama semakin melambat. Kini, di jalan satu arah selepas Bundaran Cibiru, kendaraan berhenti sama sekali. Macet total tidak bergerak. Ada apa ini?
Fitra mulai gelisah. Beberapa kali ia berusaha melongok ke depan. Daerah ini memang sering macet. Hanya saja, kali ini macetnya benar-benar di luar nalar.
Beberapa kali terdengar klakson. Juga suara menderu, pertanda pengemudinya sudah tidak sabar. Namun semua itu tiada guna. Arus kendaraan benar-benar tertahan. Macet. Stuck!
“Ada apa, sih?” Fitra menggumam sendiri.
Gya pun ikut-ikutan mencoba melihat. Jendela kaca dibuka dan ia mulai melongok keluar. Sayangnya, sepanjang mata memandang, yang tampak hanya barisan kendaraan. Beberapa penumpang angkutan umum tampak turun dan memilih berjalan, meninggalkan sopir yang hanya bisa menggerutu. Beberapa pedagang kaki lima mencoba “menghibur” dengan menghampiri satu per satu kendaraan yang tidak bergerak. Siapa tahu pengemudi atau penumpangnya ada yang membutuhkan minuman segar atau penganan kecil pengganjal perut.
Fitra akhirnya menekan tombol power window untuk membuka jendela, kemudian mematikan mesin.
“Hemat bensin, Mbak. Dan biar nggak overheat juga.” Fitra menjelaskan tanpa ditanya.
Gya tidak menjawab. Namun, Christie yang ternyata tertidur di bangku belakang sontak terbangun. Semilir angin AC yang tiba-tiba berhenti sepertinya membuat tubuhnya bereaksi. Christie tampak menggeliat, lalu mengucek mata. Pandangannya menyapu sekeliling dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
“Di mana ini?” tanya Christie.
“Di….” Gya ingin menjawab, tetapi ragu. Ia pun menoleh ke Fitra.
“Cileunyi. Tinggal muter, terus belok kiri ke Rancaekek. Biasanya nggak semacet ini.” Fitra mengelap keringatnya. Sepertinya ia mulai merasa salah kostum–mengenakan jaket olahraga. Ia ingin membuka jaketnya, tetapi ruang geraknya terbatas.
“Ada apa ini?” Christie mulai sadar kalau kendaraan terjebak macet parah.
“Entah. Ada syuting, kali? Mungkin ada U2 konser sambil bikin video klip ‘Where The Street Has No Name’, atau REM nyanyi ‘Everybody Hurts’.” Fitra menjawab asal.
Christie menoleh menatap Fitra yang duduk di depan. Ada nada kekesalan dalam suaranya. Entah karena Christie yang bertanya, entah karena kemacetan jalan yang luar biasa.
“Aku keluar sebentar.” Gya membuka pintu.
Fitra terkejut, lalu menoleh.
“Aku mau cari tahu ada apa di depan.” Gya menutup pintu lalu melesat.
Tinggallah Fitra berdua Christie di dalam mobil. Keduanya kembali canggung. Duh, apa-apaan, sih, Gya?
Beberapa orang tampak berjalan di sisi kiri dan kanan mobil. Beberapa di antaranya saling mengobrol dan menanyakan keadaan, meski tak satu pun memberikan jawaban yang memuaskan. Toh, Fitra tetap berusaha mendengarkan pembicaraan orang-orang di luar. Siapa tahu ada informasi penting yang didapat.
“Ada apa, ya?” Fitra kembali menggumam.
“Entah.” Kali ini Christie yang menjawab.
Suasana di dalam mobil pun kembali hening. Sesaat. Hingga Christie mulai kembali membuka percakapan.
“Dapat salam dari teman-teman di ruangan.” Tiba-tiba Christie berkata.
Fitra tersentak. Ia lalu mengintip kaca spion dan tampak Christie yang tengah menatap lurus ke depan. Fitra merasa gugup ketika melihat mata Christie. Ia merasa Christie sedang menatapnya. Meski demikian, ia tetap berusaha menguasai diri.
“Wa alaikum salam.” Fitra menjawab pendek. Dan gugup. Ia sedang tidak ingin membicarakan kantor di situasi seperti ini.
“Pada tanya kapan kamu balik.” Christie seolah tidak peduli.
Fitra terdiam. Perasaaannya campur aduk. Ada setitik rindu yang bercampur dengan rasa bersalah juga.
“Ngomong-ngomong, saya salut, lho, sama teman-teman Bagian Kepegawaian. Dalam kondisi seperti sekarang, mereka tetap masuk kantor seperti biasa. Padahal, ruangan lain sering kosong, orang-orangnya udah banyak yang nggak mau masuk kantor.” Christie berhenti sejenak. “Dan teman-teman selalu datang PAGI,” lanjutnya dengan menekankan pada kata “pagi”. Christie memang sengaja menyindir Fitra. Lebih jauh, Christie ingin “menyerang” Fitra.
Fitra lagi-lagi terdiam. Ia mulai merasa tidak nyaman. Sepertinya “serangan” Christie mulai “masuk”.
“Kalau kamu mau tahu, ya. Kami sering direpotkan dengan surat permohonan pindah yang banyak banget.” Christie diam sebentar menunggu reaksi Fitra. Namun, Fitra ternyata bergeming. “Saya pun kalau boleh milih.” Christie melirik sebentar, “mau saya tetap di Kementerian Infrastruktur.”
Ha? Fitra terkejut. Air mukanya sedikit berubah. Bingung. Namun, tentu saja Christie tidak melihatnya.
“Saya punya banyak kenalan. Bertahan di Kementerian Infrastruktur bagi saya perkara gampang. Dan ingat, saya adalah kepala bagian kepegawaian. Mengakali peraturan … mudah saja.” Christie mengendikkan bahu. “Tapi tidak saya lakukan.”
Fitra lagi-lagi bergeming. Ia bertingkah seperti patung, cuek dengan pandangan lurus ke depan meski batinnya gelisah luar biasa.