Fitra tampak memegang kemudi dengan gundah. Mobil masih berada di lajur kiri. Beberapa kali mobil pun disalip.
“Saya nggak khawatir dengan arah.” Fitra menggumam sambil memegang erat kemudi. “Dulu, waktu pertama kali saya mudik ke Yogya pakai mobil dua tahun lalu, saya tidak ada GPS sama sekali. Bekal kami cuma peta. Dan kami waktu itu lewat jalur alternatif juga.”
Fitra menoleh, lalu menggeleng. “Tidak ada kejadian apa-apa. Kami selamat sampai tujuan.”
“Nah, berarti aman, kan?” ujar Gya.
“Saya….” Fitra tampak berkonsentrasi dengan jalan di depannya. Mobil melaju perlahan dan masih disusul kendaraan lain dari sisi kanannya. “...tidak khawatir dengan rute.” Fitra menghela napas. “Yang saya khawatirkan adalah kondisi jalannya.”
“Tenang, Fit.” Christie akhirnya bicara juga. Nada suaranya jauh berbeda dengan sebelumnya. “Ini perjalanan kita bersama. Jangan ambil beban itu sendiri. Kita lalui bareng-bareng. Ya?”
Fitra menoleh ke belakang. Kemudian segera menghadap ke depan lagi.
Christie tersenyum. Namun, tentu saja Fitra tidak melihatnya. Christie sendiri heran dengan kata-katanya barusan. Karena … ia pun juga sedang mengawal sebuah “perjalanan” yang lain. “Perjalanan” yang harus ia pastikan tiba di tujuan dengan selamat. “Perjalanan” yang bahkan tujuannya pun … entah! “Perjalanan” yang bahkan ia sendiri tidak ingin melaluinya. Dan ia pun tengah memikul beban itu sendirian–setidaknya itulah yang ia rasakan.
Christie menghela napas dan menyandarkan punggungnya. Ia menatap keluar. Lalu tampak pohon-pohon yang seakan semakin cepat berlari. Christie lagi-lagi tersenyum. Fitra sudah lebih yakin tampaknya. Mobil kembali melaju.
Jalan di depan tampak menanjak dan berkelok. Meski demikian, kiri dan kanannya masih tampak padat dengan bangunan. Sebuah kompleks bangunan besar dan luas terpampang di kiri jalan dengan penunjuk nama besar-besar: Universitas Padjadjaran. Tak jauh dari situ, terdapat kompleks bangunan dengan pahatan nama yang sangat jelas; Institut Teknologi Bandung.
Fitra melirik sekilas ke papan nama kampusnya itu–ITB. Kampus ITB memang memiliki gedung di Jatinangor yang terhitung baru. Beberapa kelas kuliah ada yang mulai dipindahkan ke sana. Tentu saja tidak termasuk kelas kuliah yang diikuti Fitra. Karena, ini adalah pertama kalinya ia melihat bangunan kampus ITB cabang Jatinangor.
Jalan yang dilalui semakin menanjak. Barisan bangunan perlahan-lahan berganti dengan rimbunan pepohonan di kiri dan kanan jalan. Hamparan sawah juga mulai terlihat. Dan antrean kendaraan mulai memadat di dua lajur. Namun, antrean di lajur berlawanan bukankah karena terhambat aksi unjuk rasa yang berlangsung terlalu jauh di bawah sana. Melainkan karena kondisi jalan yang berlubang. Juga karena angkutan-angkutan umum yang berhenti sembarangan. Untuk yang terakhir, ini juga berlaku untuk lajur yang dilalui sedan putih berlambang singa itu.
Fitra semakin meningkatkan konsentrasinya. Ia memang tidak ada masalah sama sekali dengan rute. Toh, ini jalan utama. Bahkan, rasanya ada bus dari Bandung juga yang rutenya lewat sini. Namun, kondisi dan situasi di jalan yang membuat Fitra was-was. Entah kenapa, sejak memasuki Sumedang, perasaannya menjadi tidak enak. Meski, mungkin saja itu lebih karena pertengkarannya dengan Christie sebelumnya. Meski….
“Wow!” Gya spontan memegang gagang di atas pintu dengan tangan kirinya.
“Maaf, Mbak.” Fitra merasa tidak enak.
Namun, Gya maklum. Fitra baru saja menghindari lubang yang lumayan besar. Mengendarai mobil di lereng gunung dengan kondisi jalan agak rusak memang membutuhkan konsentrasi.