Fitra berlari keluar dari mobil yang telah berhasil ditepikan. Ia bermaksud menyusul kedua temannya yang tengah membantu pria tua yang jatuh dari sepeda motor itu. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan di depannya.
Pria tua itu tampak tergeletak. Darah bercecer di mana-mana. Helmnya terlepas dan celananya sobek. Rembesan darah tampak membasahi kain.
“Kasihan bapak itu, tadi jatuh dan ketimpa motor. Untung itu teteh-tetehnya kuat angkat motornya.” Seseorang yang ada di kerumunan tampak berbicara, tampaknya ia memberitahu orang yang baru datang. Ia menunjuk ke arah Gya dan Christie yang tengah berjongkok sambil berusaha mengobati luka pria tua itu dengan peralatan seadanya.
Fitra menoleh ke orang yang tengah berbicara itu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hatinya pun kesal melihat banyak orang berkerumun, tetapi tidak satupun membantu. Mereka sibuk berbicara satu sama lain, saling melontarkan analisis dan dugaan, tetapi tidak ada yang bergerak. Bahkan beberapa malah tampak menyorongkan ponselnya untuk memotret. Wisata bencana. Ketika bencana menjadi tontonan gratis orang-orang yang haus hiburan.
“Tas … saya….” Pria tua itu mengerang.
“Sabar, Pak. Ini diobati dulu lukanya.” Gya tampak cekatan membersihkan luka dengan alkohol, menetes luka dengan obat, memotong kasa, dan menutup luka. Gya memang mantan anggota mahasiswa pecinta alam semasa kuliah dulu. Ia pasti sudah akrab dengan pertolongan pertama pada kecelakaan.
“Ada … yang … udah … telpon … ambulans?” Fitra bertanya dengan nada terbata-bata.
Gya menoleh, dan ia melihat betapa Fitra tampak begitu tegang.
Namun, sebenarnya Fitra bukan lagi tegang, melainkan geram. Ya. Ia geram. Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang yang tega menyakiti sesamanya, hanya untuk mengambil yang tidak seberapa? Orang-orang seperti itu, harusnya ditembak mati saja. Persetan dengan HAM!
“DASAR BELEGUG (GOBLOK)!”
“BANGSAT!”
Tiba-tiba terdengar suara dari suatu arah. Orang-orang pun menoleh ke arah datangnya suara–dari arah depan jalan. Suara-suara itu semakin lama semakin riuh. Teriakan dan makian orang-orang yang marah kian terdengar bersahut-sahutan.
“Begal itu!” Salah seorang warga yang berkerumun berkata sambil menunjuk ke arah keriuhan, di mana serombongan orang mulai datang.
“Lihat itu hasil perbuatanmu!” Seseorang menyentak dengan keras, lalu menyeret seonggok tubuh. Tubuh tak berdaya itu kemudian dilempar ke depan.
Gya dan Christie sontak berdiri karena terkejut.
“Ampun … ampuni saya….” Sosok tubuh yang tergeletak itu tampak merintih. Wajahnya babak belur dan kedua tangannya terikat di atas punggung. Ia tampak begitu tidak berdaya.
“Sekarang kamu minta ampun?” Tangan seorang laki-laki mencengkeram kaos pemuda itu dan memberdirikannya.
Pemuda babak belur itu tampak sempoyongan meski akhirnya berdiri juga.
“DASAR BAGONG SIA (DASAR BABI KAU)!” Tiba-tiba seorang yang lain menghambur dan menampar pemuda itu.
Pemuda itu hanya bisa menangis kesakitan. “Ampun, Pak….”
“KEHED (SIALAN)!” Muncul orang lain lagi yang langsung meninju perutnya.
BUK!
Pemuda itu jatuh terduduk. Lalu sebuah sepakan membuatnya kembali tersungkur. Ia kemudian meringkuk untuk melindungi tubuhnya. Hanya itu yang bisa dilakukan karena tangannya terikat. Sayangnya, orang-orang telanjur murka. Berita pembegalan yang belakangan marak dan sering diulang di televisi membuat kebencian kolektif yang terpendam lama termuntahkan siang itu. Melihat si begal tak berdaya, orang pun kalap.
Christie merasa kepalanya berdengung. Ia begitu terpaku melihat adegan di depannya, antara sadar dan tidak. Seumur-umur, belum pernah ia melihat orang dipukuli sampai seperti itu. Ia dibesarkan di keluarga baik-baik, dirawat di lingkungan yang baik, sekolah dan kuliah di tempat yang baik, bekerja pun di tengah orang-orang baik. Eh, tunggu! Mungkin yang terakhir perlu pakai tanda petik. Sudahlah! Apapun itu, realita adalah yang terpampang di depan mata!
Priiiiitttt…!
Sebuah suara terdengar dari kejauhan. Dan lama-lama semakin kencang.
Priiiitttt…!
Dan kerumunan pun bubar. Menyisakan dua orang yang terkapar di tengah-tengahnya. Yang satu adalah pria tua korban begal, dan satunya lagi adalah si begal.
“Bubar … bubar … bubar!” Seorang polisi berseragam cokelat menyeruak sambil mengibaskan kedua tangannya seperti mengusir lalat.
Fitra terkesiap melihat polisi berseragam itu. Ia pun mundur beberapa langkah.
“Ayo bubar!” Tampak sepasukan lainnya mengikuti di belakang. Sebagian berseragam cokelat, dan sebagian lain berpakaian preman.
Beberapa polisi menghampiri pemuda begal yang sudah tidak berdaya itu dan menyeretnya.
“Ikut kami!” Perintah salah seorang sambil meraih lengannya.
Pemuda begal itu kembali berdiri. Namun, sepertinya ia sudah kehilangan tenaga untuk melangkah sehingga akhirnya ia diseret. Lututnya tampak beradu dengan tanah. Kepalanya terkulai. Dan kedua tangannya yang terikat di punggung tampak terpelintir ke atas.
Fitra menatap pemuda itu tanpa berkedip, seolah terhipnotis. Lupa dengan “persetan HAM”-nya yang tadi sempat terbesit di dalam hati.