Mobil kembali melaju menembus jalan di tengah-tengah sawah. Jalanan tampak sepi dan hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan.
Kemudian, perlahan sawah mulai berganti bangunan. Pertanda mereka mulai memasuki kota. Beberapa angkot tampak berhenti di pinggir jalan. Sementara, di depan sana tampak kendaraan-kendaraan yang semakin banyak.
Mobil berhenti di persimpangan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Kemudian berbelok ke kiri ketika lampu menyala hijau. Kini, mobil melaju di tengah-tengah pasar.
Gya melajukan mobil dengan hati-hati. Suasana berubah ramai dengan aneka kios para pedagang, lengkap dengan lalu lalang orang-orang yang berseliweran, kadang tiba-tiba menyeberang jalan, dan jangan lupa pula dengan angkot-angkot yang berhenti ngetem sembarangan di pinggir jalan.
Sepeda-sepeda motor juga tampak memenuhi jalan, berbagi ruang dengan becak dan andong yang ditarik kuda. Serta beberapa lapak yang memakan badan jalan juga.
“Kita ke arah mana sekarang?” tanya Gya sambil tetap berkonsentrasi dengan jalan di depan.
“Ikuti jalan ini saja.” Fitra tampak memperhatikan peta di layar ponsel.
“Oke.”
“Ini jalan utama, kok. Ini menuju arah Dawuan. Tapi nanti sebelum Dawuan akan ada persimpangan. Nah, ini kita ada pilihan, apakah mau lewat Cirebon, lalu memyusuri Pantura. Atau belok kanan ke Majalengka dan menuju Ciamis, lalu lewat jalur selatan.” Fitra tampak serius menganalisis peta digital di tangannya.
“Ditentukan sekarang aja,” usul Christie. Ia juga tengah memperhatikan GPS melalui layar ponselnya. “Kalau mau lewat jalur utara, kita ke Cirebon saja. Soalnya, kalau ke Majalengka, nanti malah muter. Nggak efektif.”
“Saya belum pernah lewat utara,” ujar Fitra.
Christie menengadah.
“Kalau naik bus, memang pernah. Tapi kalo nyetir mobil sendiri, saya belum pernah. Dari sejak pertama kali mudik naik mobil sendiri tahun 2013 yang lalu, saya selalu lewat selatan,” terang Fitra.
“Jadi, mau ke Ciamis saja?” tanya Christie.
“Entah.” Fitra menengadah, lalu memperhatikan jalan.
Tampak mobil sudah melewati perkotaan. Barisan bangunan mulai menghilang dan berganti dengan pepohonan, tanah penuh ilalang, jurang, tebing, dan….
“Wow!” Gya lagi-lagi berteriak, lalu membanting kemudi ke kanan. Untunglah tidak ada kendaraan dari arah depan.
“Santai, Mbak. Santai….” Fitra berusaha menenangkan. Meski ia pun tak menyalahkan Gya juga.
Bagaimana Gya tidak terkejut jika di depannya menganga lubang besar? Itu adalah kesekian kalinya terdapat lubang di tengah jalan.
“Kabupaten Sumedang itu luas banget, ya? Kayak nggak habis-habis.” Gya berkata sambil menatap sebuah masjid di kanan jalan yang alamatnya terpampang jelas bertuliskan “Kabupaten Sumedang”.
Fitra tidak menanggapi.
Begitu juga Christie. Ia tampak serius memperhatikan GPS. Tangannya menggeser layar ke tampilan peta Majalengka, kemudian menggeser lagi hingga terlihat kota Ciamis. Sorot matanya langsung serius ketika melihat jalan penghubung antara Majalengka dan Ciamis yang penuh kelokan. Tak perlu berpikir lama untuk menebak bahwa itu adalah pegunungan. Christie pun bimbang. Sebaiknya, lewat Cirebon atau Ciamis saja, ya?
Perhatiannya buyar ketika tiba-tiba telepon berdering. Apalagi ketika melihat nama si penelepon yang tertera: Ferdi-Direktur Perkotaan.
“Susul aja, Mbak,” saran Fitra.
“Eh?” Gya terlihat ragu. Di depannya ada sebuah truk yang menghalangi jalan. Kecepatannya lambat, tentu saja. Namun, Gya tidak berani menyusulnya. Ini di pegunungan, lajur pun hanya dua dengan sisi kiri dan kanannya berupa tebing atau jurang, dan berkelok. Bagaimana jika di depan ada kendaraan dari arah sebaliknya?
“Itu lampu sein kirinya nyala. Tandanya, aman disusul. Itu kode, Mbak,” terang Fitra.
“Oh, gitu ya?” Gya akhirnya menyalakan lampu sein kanan. Kemudian, ia akhirnya menyusul truk tersebut.
TIN!
Gya membunyikan klakson singkat sebagai tanda terima kasih. Mobil kini berada di depan truk tersebut dan dapat memacu kecepatannya dengan lebih kencang lagi.
“Bener, Fit. Kok, kamu tahu?” Gya kagum.
“Pengalaman di jalan, Mbak. Tadinya saya juga nggak tahu.” Fitra tersenyum.
Christie masih menimang-nimang ponsel di tangannya. Deringnya sudah agak lama. Ia melirik ke depan sekilas, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.