Lampu lalu lintas di persimpangan menyala merah. Syukurlah. Jadi, Gya bisa berpikir sejenak sebelum menentukan arah selanjutnya.
“Ini ke mana, Fit?” Gya kembali bertanya.
Fitra sejenak melupakan perdebatannya dengan Christie. Matanya menatap papan penunjuk jalan di depan. Kemudian beralih lagi ke ponsel. Tangannya tampak melakukan gerakan mencubit.
“Belok ke Majalengka aja kali, ya?” pikir Fitra. “Kalau lurus, saya takut banyak lubangnya. Jalanan yang biasa dilewati truk biasanya banyak rusaknya.”
“Tapi kamu yakin mau lewat Ciamis?” Tampaknya Christie juga melupakan perdebatan barusan. Kini, fokusnya adalah pilihan rute jalan. Sebagai orang yang menguasai geografi, ia sangat paham jika jalur menuju Ciamis akan menembus pegunungan dengan kondisi naik-turun dan berkelok-kelok. Ada jaminan jalanan mulus tanpa lubang? Ditambah, hari sudah semakin sore, bagaimana kalau sampai menembus magrib ketika masih di sana?
“Kalaupun tetap harus lewat Cirebon, nggak apa-apa jadi muter.” Gya menatap barisan truk itu dengan cemas. “Aku nggak pede berkendara di antara truk soalnya.”
“Belok aja, Mbak.” Fitra memutuskan.
Gya menoleh.
“Lewat Cirebon atau Ciamis kita putuskan nanti saja. Yang penting, kita hindari dulu truk-truk besar.” Fitra memutuskan.
“Okelah.” Gya menyalakan lampu sein ke kanan.
Mobil lalu bergerak ke arah Majalengka. Majalengka kota, maksudnya. Karena, ini pun–Kadipaten, seperti tertulis pada gapura yang dilewati–juga sudah masuk Kabupaten Majalengka.
Suasana sepanjang jalan menuju Majalengka (kota) tampak lebih bisa dinikmati. Nyaris tidak ada kendaraan besar yang mengganggu perjalanan. Jalanannya sendiri pun begitu lebar, mulus, dengan sempadan yang memadai di kiri dan kanannya. Yah, mungkin inilah salah satu dampak positif dari rencana pembangunan Bandara Internasional Kertajati. Infrastruktur penunjang bandara, seperti akses jalan, menjadi lebih diperhatikan.
“Kamu benar, Fit.” Christie tiba-tiba berkata.
Fitra kembali menoleh ke belakang. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan.
“Benar … apanya, Bu?” Fitra bingung.
“Merancang organisasi itu bukan pekerjaan singkat.” Christie menghela napas.
Fitra kembali menghadap ke depan. Padahal, baru saja ia “berhasil” melupakan pembahasan tentang hal yang paling dibencinya itu. Kini, malah Christie sendiri yang mengungkitnya.
“Jadi, pemisahan ditjen itu memang sudah lama direncanakan?” Gya sengaja bertanya duluan daripada keburu disambar Fitra dengan penuh emosi.
Christie mengangkat bahu. “Aku nggak mau berspekulasi.” Ia melirik Fitra sekilas yang duduk di depannya, lalu kembali menunduk menatap ponselnya. “Tapi, memang betul bahwa rancangan organisasi untuk perencanaan wilayah yang baru sudah dibahas lama.” Ia kembali melirik Fitra lagi. “Tepatnya sejak awal tahun 2014, sebelum pemilu.”
Hah? Fitra terkejut. Ia pun menoleh ke belakang, menatap Christie, seolah meminta jawaban. Meski kemudian ia kembali menatap ke depan. Mobil tampak berjalan lancar di jalanan yang mulus, tanpa terhambat kendaraan-kendaraan besar.
“Maksudnya?” Fitra tidak mengerti.
“Kamu memang benar-benar nggak mau tahu sama apa yang terjadi di kantor, ya?” Christie menatap ke depan.
Fitra tidak menjawab. Ia menunduk sambil pura-pura memperhatikan layar ponsel Gya meskipun ia juga sangat penasaran.
“Kalo kamu ganti handphone dan ikut grup WA, kamu pasti tahu apa yang kita bicarakan di situ,” lanjut Christie.
“Memangnya gimana ceritanya?” Malah Gya yang menyahut.
Christie menghela napas. “Sejak awal tahun anggaran 2014, kami di kepegawaian, khususnya di sub bagian ortala, diminta untuk merancang organisasi baru untuk fungsi perencanaan wilayah. Ini memang tim kecil. Terkesan dadakan. Bahkan, untuk rapatnya saja mengambil anggaran dari kegiatan lain.”
“Oh, ya? Kok, bisa?” Gya tampak tertarik. Tadinya, sih, ia memang hanya basa-basi. Namun, jawaban Christie memantik rasa penasarannya.