Mobil tampak berbelok memasuki SPBU. Fitra malah meminta berhenti dulu.
“Aku mau cari makanan dulu, ya. Biar nanti kita nggak usah pusing cari makan malam.” Fitra membuka pintu dan melesat keluar.
“Eh, Fit….” Gya tampak ingin mencegah. Namun, Fitra sudah telanjur menjauh.
“Urusan makan malam, mah, gampang.” Christie menggumam.
“Iya. Tapi biarkan sajalah. Yang penting bensinnya dulu.” Gya kemudian membelokkan kemudi ke kanan menuju stasiun pengisian. Sayangnya, yang terlihat malah tulisan keterangan bahwa bahan bakar tengah dalam proses pengisian. Tampak pula sebuah truk tangki besar terparkir tak jauh dari sana.
Gya akhirnya tidak jadi mengisi bensin. Mobil kemudian diparkir di dekat pintu keluar. Jendela dibuka, AC dimatikan, dan mesin pun juga dimatikan.
“Chris?” panggil Gya.
“Ya?” Christie yang tengah menatap ponselnya pun menengadah. Ia lagi-lagi habis berkirim pesan dengan Alfi. Dan lagi-lagi Alfi tidak mengirimkan salinan softcopy yang diminta. Bahkan, Alfi kekeuh kalau copy surat yang diminta Christie tidak pernah ada.
“Dari tadi kamu belum jawab pertanyaanku,” ujar Gya.
“Yang mana?” Christie bingung.
“Posisimu di isu mutasi ini.” Gya menoleh ke belakang.
Christie menatap Gya, lalu menunduk.
“Kamu dari tadi cuma bilang kalo suara pegawai terpecah. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Tapi kamu sendiri belum bilang di mana posisimu.” Gya menatap sahabatnya itu.
Christie masih menunduk. “Aku menjalankan tugas….”
“Iya.” Gya memotong. “Tapi sikapmu sendiri bagaimana?”
“Memangnya penting?” Christie menjawab cepat. Ia balas menatap Gya. “Gy, aku ini kepala kepegawaian. Rancangan organisasi baru, jelas aku yang bertanggung jawab. Tentu saja bukan atas kemauanku, karena aku hanya menjalankan perintah.”
“Pak Ferdi?” tebak Gya.
“Pak Ferdi? Atasanku itu Sekretaris Direktorat Jenderal. Bukan Direktur Perkotaan,” ralat Christie.
“Oke,” jawab Gya singkat. “Jadi, itu perintah Sesditjen, kan?” Gya memastikan.
Christie menghela napas. “Aku bukan orang gila, ya? Mana mungkin aku bekerja tanpa perintah? Sekalipun itu di luar kegiatan resmi, sekalipun sifatnya kebijakan, bahkan sekalipun harus mencatut anggaran dari kegiatan lain, tetap saja aku nggak akan segila itu bergerak sendiri. Semua pasti atas dasar perintah.”
“Perintah Sesditjen atau Direktur?” Gya memastikan.
“Sesditjen. Secara hierarki.” Christie kembali menegaskan.
“Secara … tidak resmi?” Gya kembali menyelidik.
“Aku no comment!” Christie mengangkat kedua tangannya. “Aku nggak tahu menahu seandainya ada pembicaraan tertentu di kalangan pimpinan. Itu bukan wewenangku juga untuk mempertanyakan. Aku hanya menjalankan perintah.”
“Masalahnya, seandainya pun ada pembicaraan khusus di level pimpinan, faktanya kamu tetap saja yang paling terkena imbasnya, kan?” Gya kembali mencecar.
Christie kembali menghela napas. Punggungnya menyandar dan matanya terpejam. Ia benar-benar penat.
…
Fitra berjalan menyusuri trotoar. Sebenarnya, ia tidak terlalu berminat membelikan makanan juga. Soal makan malam, ya gampanglah! Kan, bisa cari di pinggir jalan. Di rest area juga banyak. Ia juga bukan “orang susah”, kok. Uang pasti ada. Kalaupun tidak, cari saja ATM. Tidak usah bermental miskin. Nanti kalau miskin betulan, baru tahu rasa!
Hanya saja, Fitra memang ingin keluar sebentar untuk menenangkan diri. Tepatnya, menghindari Christie. Fitra tidak ingin memperkeruh suasana. Hanya saja, ia merasa kembali terpancing untuk berdebat dengan Christie. Telepon dari Ferdi adalah yang paling memicunya. Ya. Kalau ada orang yang paling dibenci Fitra, itu adalah Ferdi. Pejabat eselon II ambisius yang bermimpi menjadi menteri, jago melobi dan Fitra yakin betul kalau mastermind di balik pemisahan unit organisasi tempat kerjanya adalah Ferdi.
Mata Fitra tertumbuk pada sebuah kios ayam goreng tepung ala-ala Amerika di pinggir jalan. Ia pun mendatanginya.
“Selamat datang, Teh. Mau pesan apa?” Seorang pelayan pria muda yang ramah langsung menyapa ketika Fitra datang.
“Emm … paket nasi ayam, yang dada. Tilu, ya, A,” ujar Fitra.