Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #22

21 - CIREBON: Di Luar Rencana

Christie menengadah dan terlihatlah kedua temannya yang sepertinya ikut khawatir juga. Bagaimana, ya? Christie tengah menimbang, apakah ia akan berbohong saja dengan mengatakan sudah di Yogyakarta, atau jujur saja dengan risiko terjadi pertengkaran, atau tidak udah diangkat saja … dengan risiko keributan yang lebih besar lagi.

Christie masih menimang-nimang ponselnya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memilih opsi kedua.

“Halo, Mas?” Ia menyapa, kemudian kembali duduk di tanggul.

Gya dan Fitra juga ikut duduk di tanggul sambil menatap cemas Christie. Khawatir kalau ada kabar tidak mengenakkan–berdasarkan ekspresi cemas Christie ketika menerima telepon.

“Ya? Halo?”

“Suaranya nggak kedengeran, Mas,” ujar Christie. Posisi luar ruang dengan deru kendaraan yang seakan tak pernah berhenti memang mengganggu.

“Iya … halo…?”

“Masih nggak kedengaran, Mas. Sebentar.” Christie menarik ponsel dari telinga. Kalau begini, mungkin lebih baik pakai loudspeaker saja. Ia pun akhirnya mengganti mode suara ke loudspeaker dan meletakkannya di depan mulut.

“Halo, Mas?”

“Sudah terdengar?”

Kali ini Fitra dan Gya ikut menoleh. Suara yang terdengar sangat keras soalnya.

“Jelas, Mas,” jawab Christie.

“Sudah sampai? Nginep di mana? Di hotel yang sama atau beda? Hotel yang diinapi presiden sama menteri masuk SBM3 nggak? Tapi kalaupun nginep di hotel lain, jangan yang terlalu jauh dari lokasi. Kasihan kamunya.”

Yos langsung menyerocos dengan rentetan pertanyaan panjang kali lebar kali tinggi. Bukti bahwa ia benar-benar sayang dan perhatian pada istrinya itu. Sayangnya, di telinga Christie, yang terdengar seolah berondongan interogasi kepada terduga pelaku kriminal di kantor polisi. Christie gugup setengah mati!

“Emm….” Christie menggantung kalimatnya. Ia melirik Gya dan Fitra seolah meminta masukan. Tentu saja keduanya tidak merespons. Mana mereka tahu urusan rumah tangga orang lain?

“Halo?”

Yos kembali bersuara.

“Belum … Mas….” Akhirnya Christie memilih untuk jujur saja.

“Belum apa? Maksudnya belum sampai?”

“Iya … Mas….” Christie menjawab terbata.

“Kok belum sampai? Memangnya kamu naik pesawat jam berapa? Tuh, kan? Mending juga kamu pulang dulu. Pesawat dari Bandung itu sering delay!”

“Nggak naik pesawat, Mas.”

“Kereta?”

“Emm … enggak juga.” Christie masih tergagap-gagap menjawabnya. Sedari awal Yos sudah tidak setuju dengan rencana Christie melanjutkan perjalanan dinas dari Bandung ke Yogyakarta. Kalau tahu Christie masih di Cirebon, bisa-bisa terjadi perang dunia, nih.

“Jadi kamu naik apa?”

“Mobil, Mas.” Akhirnya Christie menjawab jujur juga.

“Hah? Naik mobil? Terus ini kamu kena macet atau gimana? Masa jam segini masih belum sampai juga?”

Nada suara Yos antara terkejut dan berang.

Christie menghela napas. Ia pun menceritakan semua yang terjadi selama di perjalanan. Termasuk terkena tilang. Termasuk harus menunggu perbaikan mobil di bengkel. Termasuk terjebak unjuk rasa. Termasuk kejadian pembegalan juga.

“Pulang saja!”

Nada suara Yos seperti memerintah.

“Pulang? Kok pulang, sih?” Kali ini Christie yang kesal.

“Memang sepenting apa, sih, rapatnya? Sudah tidak dapat tiket, lalu ada kejadian di jalan. Itu tandanya kamu nggak usah berangkat!”

“Ya nggak bisa gitu, dong!” Christie semakin kesal.

Fitra tampak menunduk. Sedikit banyak, ia merasa punya andil salah juga.

“Kenapa, sih, kamu selalu memaksakan diri? Kamu masih merasa bersalah gara-gara kasus yang kamu nggak jadi ke Jepang beberapa tahun lalu itu? Masih diungkit-ungkit juga? Itu udah lama berlalu, Sayang….”

“Tapi sampai sekarang masih jadi preseden buruk. Membatalkan beasiswa S-2 itu fatal.”

Fitra terkejut. Christie pernah membatalkan beasiswa?

“Terus kamu ingin menebusnya dengan menjadi budak birokrasi dengan bersedia diperlakukan apa saja?”

Lagi-lagi Fitra terkejut. Kata-kata Yos barusan membuatnya serasa dejavu.

“Ya … nggak gitu juga, Mas….”

“Anak-anak kamu tinggal terus ini, lho….”

“Anak-anak … gimana, Mas?” Suara Christie melunak. Tampaknya, anak adalah senjata ampuh untuk meluluhkan hati ibu mana pun.

“Masih ingat juga sama anak-anak?”

“Nggak usah nyinyir!” Christie kembali kesal.

Gya dan Fitra berpandang-pandangan. Sungguh tidak enak rasanya mendengarkan pertengkaran suami-istri.

“Mau ngomong?”

Yos terdengar bertanya, dan tanpa menunggu jawaban, sepertinya ia langsung memanggil seseorang. 

“Davina....” 

Sayup-sayup terdengar suara Yos memanggil seseorang di seberang sana.

“Iya, Pa!” 

Terdengar suara anak kecil dari seberang telepon, juga sayup-sayup, tetapi jelas. 

Lihat selengkapnya