Kedai kopi di sudut rest area itu seakan tidak pernah tidur. Setiap saat ada saja yang singgah untuk melepas penat. Beberapa orang pria duduk melingkari sebuah meja dengan beberapa cangkir kopi, asbak, dan asap rokok yang mengepul dari mulut mereka.
Dua orang remaja tanggung berjaga di bagian depan, menunggui barang dagangan. Terlihat rentengan aneka kopi saset yang digantungkan di rak dan etalase. Beberapa bungkus mi instan tampak tersusun rapi. Juga mi dalam kemasan cup yang hanya tinggal diseduh air mendidih. Sebuah televisi berukuran 14 inchi dengan layar tabung bertengger di salah satu rak menayangkan sinetron yang entah apa judulnya.
Gya, Fitra, dan Christie mengambil tempat duduk di meja yang agak jauh dari kumpulan para pria yang tengah asyik mengepulkan asap rokok itu. Ketiganya belum berniat tidur. Entah karena belum mengantuk, entah karena merasa tidak betah dengan suasana rest area. Tidur di “alam terbuka” jelas tidak termasuk dalam servis perjalanan dinas yang biasa mereka lakukan.
Tiga buah gelas berada di atas meja, berisi masing-masing minuman yang diracik dari serbuk instan: kopi susu, susu jahe, dan cappuccino. Gya tampak sabar menunggu ampas kopi dalam gelasnya turun. Fitra menyeruput sedikit-sedikit susu jahe yang terasa panas dan pedas di bibirnya. Sementara, cappuccino di gelas Christie masih utuh. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya. Ada beberapa pesan yang masuk ke dalam aplikasi media sosialnya. Pesan-pesan di grup sudah menumpuk hingga ratusan. Juga beberapa pesan pribadi yang belum sempat dibacanya.
Christie mengetik sesuatu di ponselnya dan mengirimkannya kepada seseorang. Tak perlu menunggu lama, ponsel Christie kembali berbunyi, tanda ada balasan. Beberapa kali ponsel Christie berbunyi, tanda bahwa ia tengah berbalas pesan dengan serius kepada seseorang. Dan setelah beberapa kali berbalas pesan, ponsel Christie pun berdering.
“Halo, Pak?” Christie menjawab telepon itu, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat duduknya.
Fitra memperhatikan atasannya itu dari jauh. Beberapa kali ia mendengar Christie mengatakan sesuatu, tetapi tidak terlalu jelas.
“Iya, Pak.”
“Mohon maaf sekali, Pak.”
“Saya masih di Cirebon ini … dan sepertinya ini akan lama.”
“Saya … kurang tahu. Saya tidak bisa memastikan.”
“Maaf, Pak, ini di luar dugaan saya.”
Christie tampak mondar-mandir. Wajahnya tampak kusut, dan sedikit panik.
Fitra kembali menyeruput susu jahenya sambil sesekali melirik bosnya itu.
“Iya, Pak. Saya pasti usahakan. Selamat malam, Pak.”
Telepon ditutup. Dan setelah percakapan terakhir itu, Christie kembali ke tempat duduknya.
“Siapa, Chris?” tanya Gya.
“Siapa lagi!” Christie memberikan jawaban menggantung. Ia melirik Fitra yang tengah serius dengan susu jahenya. Sepertinya Fitra tidak ngeh dengan pertanyaan Gya barusan, dan Christie pun tidak ingin merusak suasana hati Fitra dengan menyebutkan nama yang ia yakin akan membuat mood Fitra hilang seketika. Gya pun tidak bertanya lagi. Ia mengerti siapa yang dimaksud Christie.
Para pria yang merokok mulai beranjak pergi. Mereka berjalan menuju beberapa truk yang diparkir tidak jauh dari kedai. Sepertinya mereka adalah para supir truk yang melakukan perjalanan malam dengan konvoi. Konvoi memang merupakan salah satu cara untuk menjaga diri dari begal yang mengincar truk-truk di jalanan, terutama pada malam hari. Asap dan bau rokok pun perlahan menghilang seiring dengan perginya para pria supir truk itu.
Christie meminum cappuccino-nya yang sudah mulai dingin. Gya mulai menyeruput kopi susunya, yang ampasnya sudah turun ke dasar gelas. Susu jahe Fitra sudah hampir habis.
“Jam berapa, Mbak Gya?” tanya Fitra.
Gya melirik jam tangannya. “Jam … setengah sepuluh....lebih sedikit,” jawabnya. “Udah lama juga, ya?” Gya menoleh ke arah mobil yang diparkir.
“Ngantuk, Fit?” tanya Christie.
Fitra menggeleng. “Nggak. Belum.”
“Kayaknya malam ini kita bakalan susah tidur.” Gya menggumam.
Fitra diam saja. Kalau harus menunggu sampai besok pagi, artinya akan ada 12 jam terbuang sia-sia. Fitra semakin merasa tidak enak pada Christie.
“Eh, ngapain, yuk!” Gya berusaha memecah suasana, dan mencairkan kebosanan juga.
“Mau main gaple? Saya ada kartunya, tuh, di tas. Punya temen kuliah saya. Dia titip ke saya, takut kena razia gara-gara ada anak ITB diskors gara-gara main kartu di perpustakaan.” Fitra langsung menyerocos.
“Kalo kita yang main gaple, besok bakal ada berita di headline gede-gede: OKNUM PNS KETAHUAN MAIN JUDI DI REST AREA.” Gya langsung menyambar dengan sama asalnya.
Christie hanya menunduk sambil berusaha menahan tawa. Ucapan kedua temannya itu sanggup mengubah seketika suasana hatinya yang sebelumnya jengkel karena lawan bicara di seberang telepon.
“Truth or dare!” Tiba-tiba Christie berkata.
Gya menoleh. “Setuju!”
“Saya yang mulai duluan.” Christie segera saja mengajukan diri.
“Loh? Nggak jadi, ah.” Gya meralat.
Sayangnya, Christie seolah tidak peduli. “Pertanyaan saya cuma satu. Dan kalian harus menjawab sejujur-jujurnya.”
“Curang! Suit dulu, dong.” protes Gya.
Namun, Fitra justru tertarik. Ia menatap Christie, menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Pertanyaan apa, Bu?” Fitra penasaran.
“Pertanyaan saya....” Christie berhenti sebentar, “kenapa kalian ingin jadi PNS?”
Air muka Fitra langsung berubah. Gya pun terdiam.
Christie pun sejujurnya juga tidak tahu apakah ia sendiri memiliki jawaban yang tepat untuk pertanyaannya itu. Sebuah pertanyaan sederhana. Namun, jika harus jujur bertanya pada hati, rasanya ada seribu satu macam alasan yang entah apakah itu adalah alasan yang benar, atau tidak.
Christie memandang satu per satu wajah kedua temannya yang mendadak membisu itu. “Saya, sebagai Kepala Kepegawaian, kayaknya harus tahu juga, kan, motivasi orang yang ingin jadi PNS,” ujarnya.
“Kecelakaan sejarah.” Gya menjawab cepat, lalu tersenyum getir.
Kompak, Christie dan Fitra pun menatap Gya.
“Kok?” Christie kaget juga mendengar jawaban Gya.