Christie berjalan menyusuri koridor kantor. Langkahnya tidak selincah biasanya. Maklum, ia memang mengenakan pakaian yang tidak “biasa”. Biasanya, Christie mengenakan pakaian kasual: kemeja lengan panjang, celana panjang, dan sepatu Skecher bersol karet ringan.
Namun, hari ini pakaiannya agak ribet. Ia mengenakan kebaya, lengkap dengan kain, sanggul dan sepatu hak tinggi–tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja merepotkan langkah. Hari ini adalah hari pelantikan pejabat eselon III. Dresscode untuk pelantikan adalah pakaian tradisional, dan kebaya adalah pakaian yang umum dikenakan wanita. Christie adalah salah satu pejabat yang dilantik pada hari ini. Makanya ia mengenakan kebaya.
Christie berjalan dengan penuh hati-hati. Beberapa kali ia berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya. Beberapa menyapanya, menyalaminya, dan memberi selamat. Beberapa pegawai muda tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Kecuali bagi yang tidak suka–tentu saja! Bagaimanapun, tetap saja ada omongan miring. Usia Christie baru 37 tahun dan dianggap masih terlalu muda untuk ngemong sekitar 500 orang pegawai yang ada di ditjen–dan memang Christie adalah pejabat eselon III termuda yang dilantik pada hari itu, dan paling muda juga di kementerian. Selain itu, tentu saja masih ada yang mengungkit-ungkit tentang pembatalan beasiswa ke Jepang beberapa tahun lalu. Bagaimana mungkin orang yang mendapatkan sanksi “kebijakan” malah diangkat promosi?
Namun, Christie tidak peduli. Ia tidak pernah macam-macam, kok. Semua yang terjadi adalah sesuatu yang mengalir apa adanya, dan Christie sendiri menjalani itu semua dengan apa adanya juga. Ia sendiri tidak menyangka karirnya melesat secepat ini. Namun, inilah hidup yang selalu penuh dengan kejutan.
Langkah demi langkah, akhirnya ia pun berhenti di depan pintu ruangannya. Di pintu tersebut tertulis besar-besar: BAGIAN KEPEGAWAIAN, ORGANISASI DAN TATA LAKSANA, SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL PERENCANAAN WILAYAH.
Christie menghela napasnya. Ia membuka pintu. Tampak para penghuni ruangan seakan menghentikan aktivitasnya dan kompak menoleh ke arah pintu. Dan mereka pun bersorak ketika melihat siapa yang masuk.
“HOREEEEEEEEE!!!!” Seisi ruangan bertepuk tangan menyambut kehadiran bos mereka yang baru.
“Selamat, ya, Bu.” Alfi menghampiri dan menyalaminya.
Kru yang lain pun ikut menyalami. Termasuk Bu Ning yang menyempatkan hadir meski sudah pensiun.
“Selamat, Chris. Semoga amanah dengan jabatan barunya.” Bu Ning menyalami dan merangkul Christie.
“Terima kasih, Bu.” Christie tersenyum.
“Ayo, Bu, kita potong tumpeng dulu.” Alfi menarik lengan Christie menuju ruang tengah dengan meja besar yang sudah disulap menjadi meja makan. Nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, juga dengan es buah sebagai pencuci mulut. Sebuah rangkaian bunga tertata rapi di salah satu sudut meja.
Pak Iwan memetik salah satu tangkai mawar yang tertancap di rangkaian bunga dan memberikannya kepada Christie dengan gaya menggombal ala pujangga gadungan di film-film lawas yang dibintangi Rhoma Irama.
“Ini kuberikan setangkai mawar untuk bosku yang cantik.” Pak Iwan mulai mengeluarkan jurus rayuan mautnya.
“Pak Iwan, jangan gombal, deh!” teriak Alfi.
Seisi ruangan pun tertawa. Keakraban seperti ini memang ciri khas ruangan bagian kepegawaian. Christie memandang satu per satu orang-orang yang akan menjadi bawahannya itu. Baru dua tahun ia bergabung dengan bagian kepegawaian, tetapi ia sudah merasa nyaman seperti di rumah sendiri. Para pegawai di bagian kepegawaian bagi Christie sudah seperti keluarga sendiri.
“Eh, foto dulu, dong!” Bu Ning tiba-tiba berkata.