Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #28

27 - CIREBON: Tak Terduga

Christie, Gya, dan Fitra tampak duduk manis di sofa dengan penampilan yang lebih segar, wangi, dan rapi. Rasanya seumur-umur baru kali ini mereka menumpang mandi di bengkel. Memang, sih, kamar mandi itu cukup bersih. Hanya saja, tampaknya kamar mandi itu disediakan untuk para pekerja bengkel. Kamar mandi didesain seadanya dengan toilet jongkok, ember besar untuk menampung air, dan gayung plastik yang sudah agak pecah di salah satu ujungnya, serta pintu yang terbuat dari seng.

Ketiganya sudah berganti pakaian. Christie tampak mengenakan kaos lengan pendek berwarna hijau. Itu adalah kaos yang dibelinya di Bandung dan baru sekali dipakai ketika tidur di Balai Diklat. Gya terlihat hanya mengenakan sweater abu-abunya tanpa kemeja putih di baliknya, tampak bagian lengannya digulung hingga siku. Sedangkan Fitra sudah mengganti pakaiannya dengan kaos lengan panjang berwarna dominan putih. Jilbabnya tetap berwarna biru meski agak sedikit berbeda aksen. Fitra memang penggemar warna biru, sih.

Christie kembali sibuk dengan ponselnya. Ia harus memberi tahu Ferdi kalau ia akan terlambat–masih di Cirebon. Fitra pun sibuk dengan ponselnya. Sedangkan, Gya tampak memainkan remote control, memindah-mindahkan saluran, dan berhenti di sebuah siaran berita.

“Pemirsa, telah terjadi penyerangan terhadap sebuah pos polisi di Purbalingga. Pelaku menaiki sepeda motor dan menabrakkan diri ke polisi yang tengah berjaga, lalu menyerang dengan menggunakan pisau.”

 Gya terlihat serius memperhatikan layar. 

“Pelaku penyerangan ada dua orang. Kami berhasil meringkus satu orang, sedangkan yang satu lagi berhasil melarikan diri.” Seorang polisi tampak diwawancara para reporter.

"Apa motif pelaku penyerangan, Pak?” Seorang reporter bertanya.

“Masih kami dalami. Tetapi ini sepertinya terkait dengan kelompok radikal yang belakangan sering mengganggu keamanan.” Polisi itu kembali menjawab.

Gya menyeruput sisa teh terakhirnya. “Perasaan dari kemarin banyak banget berita soal kelompok radikal, ya?” Ia menggumam.

“Hah?” Fitra menoleh.

“Itu.” Gya menunjuk ke arah televisi.

Fitra pun menatap televisi. “Aku nggak terlalu merhatiin.” Fitra tampak tak acuh, dan kembali berkutat dengan ponselnya.

Gya menatap Fitra. “Kirim SMS ke siapa?”

Fitra kembali menoleh. “Ke Mas Juna. Cuma ngasih tahu kalo aku masih di jalan.”

“Suami kamu nggak khawatir?” tanya Gya.

Fitra menggeleng. “Udah biasa, kok. Kami udah sama-sama paham. Lagian, kalo kami traveling, ya kayak gini juga.”

“Yang jelas, aparat akan memperketat pengamanan, terutama pada obyek-obyek vital negara. Dan kepada masyarakat, kami juga himbau agar semakin meningkatkan kewaspadaannya.”

Suara dari layar televisi kembali mengalihkan perhatian Gya dan Fitra. Dan perhatian Fitra kembali teralihkan ketika perut Gya berbunyi. Fitra pun menoleh.

“Lapar, Mbak?” Fitra menahan tawa.

Gya tampak salah tingkah. “Tadi, kan, memang belum sarapan yang benar, Fit.” Gya ngeles.

“Ya udah.” Fitra menyimpan ponselnya. “Mau cari sarapan lagi aja?”

“Ayo.” Gya berdiri. “Kayaknya pas jalan ke sini tadi aku lihat ada warung mi ayam, bakso, atau soto. Nggak terlalu jauh dari bengkel.”

“Ke situ aja.” Fitra juga berdiri. “Jalan kaki bisa, kan?”

“Chris?” Gya memanggil Christie. Ia baru sadar kalau sedari tadi Christie sama sekali tidak menyahut.

“Eh?” Christie menoleh sebentar, lalu kembali berkutat lagi dengan ponselnya.

“Mau sarapan nggak?” ajak Gya.

“Sarapan apa?” Christie masih tampak berkonsentrasi dengan ponselnya. Raut wajahnya tampak gelisah.

“Bakso atau soto?” Gya menawarkan opsi.

“Di mana?” Christie lagi-lagi bertanya.

“Dari tadi kamu nggak dengerin?” Gya kembali bertanya.

“Eh? Ya?” Christie kembali menoleh dan menengadah.

“Kirim pesan ke siapa, sih? Serius amat?” Fitra gatal juga.

“BUKAN URUSANMU!”

Christie membentak.

Fitra terkejut. Namun, sedetik kemudian, ganti ia yang kesal. “Biasa aja, dong. Saya, kan, tanya baik-baik.” Fitra mendengkus. Ia sepertinya jengkel. Karena, tanpa menunggu jawaban Christie, ia langsung membalik badan dan melengos.

Gya hanya terbengong melihat keduanya. Meski ia pun juga tidak menanggapi Christie dan malah ikut menyusul Fitra.

Christie hanya menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Wajahnya tampak penat. Juga terlihat kesal. Sekaligus merasa bersalah juga.

“Pemirsa. Kita beralih ke Yogyakarta. Rapat kabinet masih berlangsung dengan agenda hari ini berupa pembahasan perubahan nomenklatur beberapa kementerian. Meski fungsi perencanaan wilayah akan menjadi kementerian tersendiri, Kementerian Infrastruktur tetap membutuhkan satu unit organisasi setingkat eselon I yang menangani perencanaan, namun khusus untuk pembangunan bidang infrastruktur.”

Suara reporter kembali terdengar. Kali ini, ia mengalihkan berita ke topik lain.

“Ya … fungsi perencanaan wilayah tetap dibutuhkan di Kementerian Infrastruktur. Tidak mungkin kita membangun tanpa melihat blueprint dari perencanaannya.”

Christie menutup wajahnya. Meski demikian, ia tahu persis siapa yang tengah berbicara. Ia sangat mengenali suara mantan bos besarnya itu. Walau begitu, ia sedang malas mendengarkan berita.

“Ada struktur dan pola ruang yang harus menjadi pertimbangan….”

Pet!

Christie mematikan televisi, lalu berjalan keluar. Suasana rumah tampak sepi. Ia akhirnya berjalan ke depan bengkel. Hanya tampak Peugeot 405 putih yang tengah diperbaiki oleh Rus. Christie pun mendekatinya, lalu berlutut di dekat Rus yang masih tampak serius.

“Gimana … Om?” Christie merasa canggung dengan sebutan “Om”.

Lihat selengkapnya