Mobil melaju di jalan tol Kanci-Pejagan. Jalanan yang tampak lurus dan lowong ternyata tidak semulus yang terlihat. Beberapa kali Christie harus sigap memindahkan kakinya dari pedal gas ke rem karena tiba-tiba ada lubang di depan. Akhirnya, Christie memutuskan untuk memacu kendaraan di kecepatan sedang. Kecepatan 60 kilometer per jam rasanya cukup. Bahkan rasanya justru di bawah kecepatan itu. Melanggar peraturan, memang. Namun, ini bukan salahnya, kan? Untung saja jalanan sedang sepi.
Christie mengambil jalur paling kiri. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu pengendara lain. Lagipula, bukankah aturannya sendiri mengatakan kalau kendaraan harusnya berada di lajur kiri dan lajur kanan hanya untuk mendahului? Silakan saja kalau ada kendaraan lain yang ingin menyusul sewaktu-waktu. Toh, Christie sendiri juga tidak terburu-buru, kok.
Ya. Kini, Christie memang sudah tidak terlalu bernafsu lagi untuk tiba secepatnya di Yogyakarta. Terserah kondisi saja. Kalau memang memungkinkan, Christie akan bergabung dalam rapat. Tetapi jika tidak, ya sudah. Benar kata Yos kemarin. Lebih baik pulang saja. Hanya saja, mobil ini sudah melaju lebih dari separuh jalan. Masak putar balik?
Christie melirik ke samping. Fitra tampak memejamkan matanya. Rupanya ia tertidur. Christie kemudian melirik kaca spion, dan ia pun melihat Gya yang juga tertidur. Dengan begini, ia satu-satunya orang yang terjaga.
Membunuh sepi, Christie pun menyalakan radio.Terdengar gemerisik suara yang tidak jelas. Tangan kirinya dengan lincah menekan tombol panah hingga sebuah siaran berita terdengar jelas.
“Pendengar, salah satu pelaku penyerangan pos polisi di Purbalingga hingga saat ini belum tertangkap. Polisi semakin mengintensifkan pencarian, serta menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dan segera melaporkan jika ada yang mencurigakan.”
Lagi-lagi aksi teror.
Christie kembali memelankan mobil ketika ia melihat lubang beberapa meter di depannya. Sebuah mobil mengklakson pelan pertanda ingin menyusul. Christie menyalakan lampu sign kiri, pertanda bahwa ia mempersilahkan mobil di belakangnya untuk menyalip–sebuah kode yang baru ia pelajari dalam perjalanan ini.
Christie menatap fokus pada jalan di depannya. Ia tahu persis, berdasarkan dokumen perencanaan, jalan tol ini akan menjadi sambungan jalan tol terpanjang sepulau Jawa. Hanya saja, hingga kini kondisi jalannya masih saja belum mulus. Christie pun sadar bahwa ia bukan termasuk orang yang berhak mengeluh. Bukankah instansi tempatnya bekerja adalah yang paling bertanggung jawab terhadap pembangunan infrastruktur jalan?
“Kami sudah mendeteksi pergerakan kelompok-kelompok radikal yang belakangan sering mengganggu keamanan.”
Kembali terdengar suara dari radio. Kali ini, yang berbicara sepertinya adalah aparat kepolisian.
“Kami harap masyarakat waspada dan segera melaporkan apabila ada sesuatu yang mencurigakan. Kami juga menghimbau agar perangkat-perangkat masyarakat di level RT dan RW sigap mendata para pendatang baru.”
Terdengar kembali lanjutan pernyataannya.
Tiba-tiba saja Christie merasa gelisah. Seumur-umur melakukan perjalanan dinas, baru kali ini ia merasa betapa perjalanan yang ia lakukan terasa begitu panjang. Padahal hanya dari Bandung ke Yogyakarta. Namun, entah kenapa, ia merasa seakan tengah melakukan perjalanan yang tiada berujung. Dengan entah kejadian-kejadian apalagi yang menantinya di depan sana.
Christie akhirnya mematikan radio. Pemberitaan mengenai aksi kelompok radikal hanya semakin mengganggu pikirannya. Untungnya, flashdisk kecil berwarna putih-biru berbentuk seperti telur bebek itu masih menancap. Ia lalu menekan tombol untuk mengganti radio dengan lagu-lagu bajakan random yang ada di flashdisk tersebut. Tak lama, alunan gitar pun mengalun lembut. Diikuti suara merdu Alanis Morissette yang mulai terdengar menyenandungkan “Ironic”. Christie pun ikut terhanyut.
Ada yang bilang, music is the soundtrack of your life. Karena lirik dalam lagu sejatinya adalah ekspresi terhadap pengalaman keseharian, yang dikemas dalam balutan kata-kata puitis dan alunan nada. Dan seperti “Ironic”, Christie pun merasa jika saat ini hidup tengah mempermainkannya dengan simfoni ironi. Ketika ia merasa semuanya baik-baik saja, tahu-tahu hidup memiliki jalannya sendiri yang membuat semua menjadi berantakan. Ia mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang dialaminya. Reorganisasi, pembangkangan pegawai, termasuk Fitra. Lalu perjalanan dinas yang tahu-tahu berbelok ke Yogyakarta di saat ia seharusnya kembali ke Jakarta. Kini perjalanan malah terus memutar dan entah ke mana lagi kendaraan ini akan membawanya.
Meski demikian, jika hidup memang memiliki caranya sendiri untuk “bermain”, bukankah seharusnya hidup juga memiliki caranya sendiri juga untuk menyelesaikan “permainan” itu? Jika hidup sanggup berbelok dengan cara yang tidak disangka-sangka, bukankah hidup pun bisa menolong dengan cara yang tidak disangka-sangka juga?
Life has a funny way for helping you out, Christie ikut bersenandung. Di balik segala kesulitan, pasti ada kemudahan, ia mencoba menghibur dan meyakinkan dirinya sendiri.