Mobil melaju menyusuri jalan menuju arah selatan. Udara terasa panas dan membuat Fitra membesarkan volume AC. Suara kipas menderu lebih keras lagi sehingga alunan lagu pun tenggelam. Fitra akhirnya mematikan musik.
Sebuah pom bensin tampak di kiri jalan. Mata Fitra menangkap papan SPBU tersebut. Tangannya pun menunjuk.
“Kita mau isi bensin dulu nggak? Kemarin bukannya nggak jadi?” Fitra mengingatkan.
“Oh, iya!” Christie melihat odometer dan tampak jarum penunjuk isi bensin yang semakin menurun, kini hanya satu bar dari bawah.
Christie kemudian menyalakan lampu sein kiri dan berbelok masuk ke SPBU. Namun, ia malah meminggirkan mobil setelah masuk beberapa meter.
“Kok, berhenti?” Fitra bingung.
“Kita mau isi berapa?” Christie balik bertanya.
“Patungan aja,” usul Gya yang langsung mengeluarkan uang dari dalam dompetnya sebesar 100.000 rupiah.
Christie pun mengernyit. “Kok, cuma segini? Emangnya cukup?”
“Memangnya mau isi berapa?” Kali ini Gya yang balik bertanya.
“Full tank-lah. Biar nggak usah berhenti lagi.”
“Saya juga sumbang, nih.” Fitra mengeluarkan dua lembar uang berwarna kuning-cokelat dan dua lembar lagi berwarna abu-abu. “Saya ada 14.000. Cukup?” Fitra nyengir.
Christie terbelalak. “Jadi dari tadi kamu cuma ada duit segitu?”
“Kan, tadi saya juga keluar uang cukup banyak, Bu. Di bengkel, beli makanan, dan lain-lain. Ya sisanya segitu,” kilah Fitra.
Christie menggeleng-geleng. Ia pun akhirnya juga mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Selembar terakhir uang berwarna biru bergambar pencipta lagu kebangsaan negara.
Kali ini, giliran Fitra dan Gya yang melongo.
“Pejabat eselon III, kok, cuma punya 50.000, sih?” cibir Gya.
“Uang saya habis, Gy. Belum ambil di ATM lagi.”
“Minimal cukup buat Rubicon, dong.” Lagi-lagi Gya mencibir.