Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #31

30 - KETANGGUNGAN HINGGA TONJONG: Tanah Subur

Mobil tampak melaju dengan lancar di jalan dua lajur. Sempadan jalan terbentang luas, masih cukup untuk memperlebar jalan. Hamparan sawah kembali terbentang di sisi jalan. Beberapa buah randu tampak dijemur. Beberapa kios kecil terbuat dari kayu dan anyaman bambu tampak menggelar dagangan berupa bawang merah dan telur bebek.

Suasana di dalam mobil terasa sepi. Christie begitu berkonsentrasi dengan jalanan di depannya. Gya tampak asyik melihat ke luar. Pemandangan hijau dengan hamparan sawah dan pohon menjulang memang bukan hal yang biasa ditemui di kota-kota besar. 

Sedangkan Fitra begitu serius memperhatikan ponsel milik Christie yang digenggamnya. Sebagai navigator, ia merasa tidak boleh terlena. Ia harus sigap jika sewaktu-waktu dimintai pendapat tentang rute yang harus dilalui. Jari Fitra beberapa kali melakukan gerakan seperti mencubit. Beberapa kali pula ia tampak menggeser-geser layar. Matanya begitu fokus ke layar. Hingga sebuah sentakan membuyarkan konsentrasinya.

“Aduh!” Fitra spontan memegang dashboard. Ia pun lalu menoleh.

“Maaf.” Christie segera menginjak rem. Ia seperti tersadar. Kendaraan pun memelan.

“Bu, kalo memang harus buru-buru, saya aja yang nyetir.” Fitra menawarkan.

“Nggak apa-apa, Fit. Saya aja.” Christie tampak berusaha tersenyum.

Fitra mengernyit melihat air muka Christie. Namun, ia lagi-lagi memilih untuk diam saja.

Suasana hati Christie memang tidak sedang baik-baik saja. Makian rasis pemuda tadi masih terngiang dan membuatnya kesal. Padahal, sebelumnya ia juga sudah dibuat kesal dengan Ferdi ketika berbalas pesan di Cirebon. Christie tidak habis pikir. Bisa-bisanya Ferdi….

“Wow.” Fitra lagi-lagi harus sigap menahan tangannya ke dashboard.

Christie tiba-tiba menyentak ke kiri karena sebuah mobil dari arah berlawanan mendadak muncul di depannya. Sepertinya mobil itu ingin menyusul. Hanya saja, sopirnya terlalu sembrono tanpa memperhitungkan apakah ada kendaraan lain dari arah berlawanan di depannya.

TIIIINNN!

Christie membunyikan klakson dan agak lama, seolah tengah menumpahkan emosi.

“Kadang yang waras kudu ngalah, Chris.” Gya menoleh ke belakang. Tatapannya mengikuti laju mobil berjenis MPV populer tersebut sampai hilang dari pandangan mata.

“Kalau semua yang waras mengalah, bisa-bisa dunia ini penuh orang gila.” Lagi-lagi nada bicara Christie terdengar sinis.

Fitra kembali menoleh. Christie sepertinya memang agak marah.

“Tapi kenyataannya memang dunia ini penuh orang gila, kan? Aku pernah baca, konon 60 persen warga Jakarta itu kena gangguan kejiwaan. Tapi nggak ada yang sadar.”

Fitra terkejut mendengar ucapan Gya. Ia pun menoleh ke belakang melalui sisi kirinya dan memberikan semacam kode agar diam saja. Gya sepertinya tidak ngeh kalau Christie sedang agak marah.

“Termasuk kamu?” Christie ternyata menanggapi.

“Iya, Bu. Termasuk saya.” Fitra yang menjawab, dengan cepat.

Christie pun menoleh sekilas. Dahinya tampak mengernyit.

“Saya pernah memeriksakan kejiwaan saya.” Fitra tampak berusaha mencari topik agar perhatian Christie teralihkan dari amarahnya. Ia lalu menoleh. Tampak Christie tengah berkonsentrasi dengan jalanan di depan dan seolah cuek dengan Fitra. “Tepatnya … untuk curhat soal kejadian yang waktu saya shortcourse ke luar negeri itu,”

Kali ini Christie menoleh. Meski ia kembali berkonsentrasi ke depan, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran.

“Karena kejadian itu sudah sangat mengganggu saya. Saya jadi takut melewati gerbang detektor logam. Saya juga takut kalau melihat orang berseragam.” Fitra menunduk. “Tadinya, saya pikir saya hanya perlu memperbanyak doa dan ibadah. Supaya pikiran saya tenang. Tapi, ketika itu semua tidak berhasil, saya memberanikan diri untuk mendatangi psikolog.” Fitra menoleh. “Dengan segala risiko stigma sebagai orang gila.” Fitra menghela napas. “Tapi itu kayaknya kekhawatiran saya saja. Saya ke psikolog juga nggak ada yang tahu.”

“Terus, apa kata psikolognya?” tanya Christie. Sebuah mobil menyalip dari kanannya. Nyaris saja mobil itu terperosok ke sungai di sisi kanannya kalau tidak buru-buru membanting setir ke kiri. Christie hanya menggeleng-geleng melihat mobil tersebut.

“PTSD.” Fitra menjawab pendek.

Christie kembali menoleh sekilas.

“Post traumatic stress disorder.” Fitra menjelaskan. “Semacam stres pasca trauma.”

Lihat selengkapnya