Kini, mobil berada di jalur yang relatif lurus. Kalaupun ada kelokan tidak terlalu tajam. Beberapa bangunan tampak berdiri di kiri dan kanan jalan, namun tidak terlalu banyak. Sempadan jalan terlihat cukup lebar, dapat digunakan untuk menepi tanpa mengganggu pengguna jalan yang lain.
Christie tampak rileks memegang kemudi. Lalu lintas memang tidak sepadat sebelumnya. Kondisi jalan sendiri relatif lancar. Konturnya lebih banyak menurun. Meski demikian, diamnya Fitra selepas Bumiayu agak membuat Christie khawatir. Apa kata-katanya tadi ada yang menyinggung perasaannya?
“Fit?” Tiba-tiba Gya memanggil.
“Hm?” Fitra menyahut acuh tak acuh.
“Kamu sebenarnya orang mana, sih?” Ada nada penasaran dalam suara Gya.
“Ha?” Tak urung Fitra pun menoleh ke belakang.
Christie melirik sekilas. Diam-diam ia berterima kasih pada Gya. Karena, berkat Gya, perhatian Fitra jadi teralihkan. Christie sangat tidak siap jika Fitra lagi-lagi mengajaknya debat tentang mutasi, soalnya.
“Soalnya, kamu bisa bahasa Sunda, tapi bisa juga bahasa Jawa,” ujar Gya.
Fitra tertawa. “Itu cuma sedikit-sedikit, kok.”
“Masa?” Gya tidak percaya. “Kamu tapi fasih, kok.”
“Anggap saja itu kewajiban, Mbak.” Fitra kembali menunduk untuk memperhatikan GPS di ponsel. Jalan menuju selatan tampak relatif lurus, sih. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Paling nanti sebelum Ajibarang ada sedikit kelokan.
“Kenapa?” tanya Gya lagi.
“Karena, batas ilmumu adalah bahasamu.”
Dan Christie pun kembali menoleh sekilas. Kali ini, ia tertarik dengan jawaban Fitra. Namun, tentu saja ia tidak berkomentar apapun.
“Kan, saya menikah sama orang Yogya. Jadi, sedikit-sedikit harus bisa bahasa Jawa. Lalu, ketika saya kuliah di Bandung, ya harus juga paham sedikit bahasa Sunda,” jelas Fitra.
“Terus, darah Yahudi kamu dari mana?” Gya lagi-lagi penasaran.
“Dari nenekku, kayaknya. Yang dari bapak saya.” Fitra tampak tak terlalu mempedulikan pertanyaan Gya.