Fitra kembali memegang kemudi. Sikapnya begitu yakin. Begitu firm kalau meminjam bahasa para pejabat di kantornya. Karena seperti yang Fitra katakan sebelumnya, ia memang beberapa kali melewati Purwokerto.
Meski demikian, Christie tetap “mengawal” dengan membuka GPS di ponselnya. Ponsel Christie menampilkan peta dengan sebuah bulatan yang bergerak perlahan ke arah kanan. Mereka sendiri sepertinya sudah memasuki wilayah Purwokerto. Entah, sih. Christie hanya memperkirakan saja berdasarkan peta yang ia lihat.
Christie kemudian melakukan gerakan mencubit keluar di layar ponselnya untuk memperbesar peta. Ia ingin tahu di mana persisnya belokan ke utara sebelum alun-alun. Sayangnya, sebuah noise tiba-tiba muncul di layar. Sebuah banner yang mengganggu tiba-tiba muncul di bagian atas layar, tertulis:
Sampai mana?
Pemandangan perlahan beralih dari pepohonan rindang menjadi jalan raya dengan bangunan-bangunan di sisi jalan. Sebuah rel kereta api melintang di depan.
“Itu stasiunnya, ya?” Gya menunjuk ke arah kiri.
Wanita berjilbab itu melongok. “Iya, itu stasiun Purwokerto. Masih lurus, Mbak. Tapi nggak jauh, kok.”
Mobil menyeberangi rel dan suasana perkotaan semakin tampak dengan bangunan-bangunan yang semakin banyak di kiri dan kanannya. Tentu saja termasuk juga gedung-gedung bertingkat.
Sebuah mal besar berdiri di sisi kanan jalan. Tertera tulisannya yang besar: Rita Supermall.
“Nah, itu sebelum mal ada belokan ke kiri. Belok ke situ, Mbak.” Wanita berjilbab itu kembali memberikan petunjuk.
“Baik, Mbak.” Fitra bersiap-siap dengan mengambil jalur kiri agar tidak kesulitan belok.
Tepat sebelum alun-alun, mobil pun berbelok dan menyusuri jalan ke arah utara. Kemudian berbelok. Dan berbelok lagi. Ada beberapa kali belokan, sih. Hingga akhirnya mereka memasuki kawasan permukiman dengan jalan yang lebih kecil. Bahkan terlalu kecil. Lebarnya benar-benar hanya pas untuk dua mobil, itu pun salah satu harus berhenti mengalah jika berpapasan.
“Yang itu rumah saya, Mbak. Yang pagar hitam ada kentongan terong di depannya.” Wanita itu menunjuk ke depan.
Fitra pun meminggirkan kendaraannya. Nyaris menempel dengan pagar. Sempit sekali, sih?
“Maturnuwun sanget (terima kasih sekali), Mbak.” Wanita itu turun diikuti anak laki-lakinya.
“Sami-sami, Mbak,” balas Fitra.
“Mampir dulu, yuk?” tawarnya. Wanita itu masih berdiri di samping mobil, sementara anak laki-lakinya menghambur masuk rumah.
“Nggak usah, Mbak. Terima kasih,” tolak Fitra. Hari sudah sore dan Yogyakarta masih jauh.
“Salat dulu paling tidak. Belum salat asar, kan?” Wanita itu mengingatkan.
Christie pun mencolek Fitra. “Salat dulu, sana.”
Fitra kemudian menatap Gya. Jangankan salat asar. Salat zuhur pun belum!
“Salat dulu, ya?” tawar wanita itu lagi.
“Baik, Mbak. Terima kasih.” Gya yang menjawab.
Fitra akhirnya keluar. Diikuti Christie. Lalu Gya. Mereka bertiga masuk ke halaman rumah wanita itu.
“Ayo masuk,” ajak wanita itu.