Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #37

36 - PURWOKERTO: Kejujuran

Mobil kembali menyusuri jalan, kemudian berbelok ke sebuah jalan yang tidak terlalu ramai Masih dekat jalan utama, sih. Namun, lebih sempit. Mata Fitra mengawasi bangunan-bangunan di sebelah kanan jalan–seberang rumah sakit. Kemudian tangannya menunjuk sesuatu.

“Itu kayaknya, Bu,” ujar Fitra.

Christie menyalakan lampu sign kanan dan mobil pelan-pelan bergerak memasuki halaman hotel tersebut. Dari tampilannya sepertinya merupakan hotel budget. Tapi interior luarnya menarik. Kekinian dengan desain populer. Tampaknya memang menjadi incaran para traveler.

Tadi Fitra memang mencari hotel yang posisinya berada di sebelah timur rumah makan. Tidak terlalu jauh juga dan ada di posisi timur yang lebih dekat dengan jalan keluar dari Purwokerto. Sengaja, supaya tidak perlu ke tengah kota juga. Meski relatif sepi, tetap saja rasanya malas kalau pagi-pagi harus terlibat dengan kepadatan di tengah kota. Meski rasanya Purwokerto tidak padat-padat amat kalau bandingannya adalah Jabodetabek, sih.

Fitra segera bergegas keluar ketika mobil berhenti dan menghampiri meja resepsionis.

“Mas, booking kamar atas nama Fitra.” Fitra langsung berkata.

“Oh, yang tadi telepon, ya?” Pemuda yang berjaga di meja resepsionis bertanya balik.

“Iya.”

Pemuda itu mencari sesuatu dari laci.

“Berapa lama?” Pemuda itu kembali bertanya sambil memilah-milah kunci.

“Satu malam saja.”

Pemuda itu kemudian berdiri. “Mari, Mbak.”

Satu buah tempat tidur ukuran king size, dan satu buah lagi ukuran single. Gya langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur ukuran single yang terletak di dekat jendela.

“Akhirnya … ketemu tempat tidur lagi.” Gya tampak telentang.

Christie pun menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. “Akhirnya ketemu lagi kehidupanku yang normal.”

Fitra tertawa. Ia tidak ikut berbaring, melainkan hanya duduk di sisi kasur.

“Permisi. Apa masih ada yang perlu dibantu?” Pemuda yang menjaga meja resepsionis menyapa di depan pintu.

“Eh, nggak ada, kok. Terima kasih, Mas.” Fitra yang menjawab.

Pemuda itu mengangguk. “Selamat beristirahat.”

“Terima kasih, Mas,” jawab Fitra.

Pemuda itu pun keluar.

Fitra segera merebahkan badannya di atas tempat tidur di samping Christie.

Gya mengambil remote yang ada di bawah bantal dan menyalakan televisi. Sebuah siaran dari stasiun televisi luar negeri segera terpampang di hadapannya.

“Nah, ini dia baru oke!” ujarnya girang.

“Kenapa?” Fitra heran.

“Dari kemarin aku lihat televisi, nggak di balai diklat, nggak di Bandung, nggak di Cirebon, semuanya nggak enak. Kalo bukan sinetron, acara latah, pasti berita. Mana beritanya juga kalo bukan politik, pasti kriminal.”

Christie terdiam. Ia teringat pada berita politik terakhir yang ia tonton di Cirebon. Juga pesan-pesan Ferdi. Pikirannya kembali kacau. Ini memang di luar kekuasaannya. Namun, ia tidak menyangka perkembangannya akan sejauh itu. Dan … ia bingung cara menyampaikannya kepada Fitra.

“Akhirnya dapat juga acara televisi yang bagus.” Gya terus memencet tombol di remote tersebut dan berhenti pada sebuah saluran yang khusus menayangkan film luar negeri.

“Ini dia.” Gya membetulkan bantalnya dan mulai menonton film tersebut.

Christie dan Fitra ikut-ikutan menatap layar kaca. The Company Men yang dibintangi aktor Ben Affleck sudah berjalan seperempatnya. Ben Affleck tampak frustrasi di film itu. Maklum saja, Ben tengah memerankan seseorang yang kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Padahal karirnya tengah berada di puncak, baru saja dipromosikan, dan mendapatkan kenaikan gaji. Nasib Ben masih lebih baik dibandingkan rekan-rekannya yang lain, yang sampai ada yang melakukan kejahatan, bahkan bunuh diri.

Christie dan Fitra tampak tidak nyaman dengan adegan dalam film tersebut. Meski tidak sama persis, mereka seolah merasa seperti Ben dan kawan-kawannya. Dan karena itu juga, keduanya pun memutuskan untuk pergi keluar saja.

“Mau ke mana?” Gya bingung melihat kedua temannya malah berdiri dan beranjak keluar kamar.

“Jalan-jalan,” jawab Christie pendek.

“Mau ikut, Mbak?” tawar Fitra.

“Capek,” jawab Gya singkat. “Aku di sini aja.”

“Mau titip apa, Mbak?” tawar Fitra.

“Nggak usah.”

Christie mengemudikan mobil menyusuri jalan lingkar kota Purwokerto. Hari sudah gelap. Kerlip lampu tampak menghiasi jalan. Kadang berpadu dengan lampu kendaraan besar yang berjalan dari arah sebaliknya. Beberapa kali pula sedan putih itu diklakson dan disusul bus besar antar kota yang memang selalu melewati jalan itu.

Mobil sedan putih itu sampai pada ujung paling barat jalan lingkar Purwokerto. Fitra memberikan kode agar Christie berbelok ke kanan. Mobil kembali bergerak ke utara dan sampai pada persimpangan jalan utama. Ajibarang ada di sebelah kiri dan tengah kota Purwokerto ada di sebelah kanan. 

Christie mengemudikan mobil menuju tengah kota. Lalu lintas tampak ramai. Dan semakin ramai ketika mendekati alun-alun. Fitra menengok kiri. Rumah wanita yang ia antar siang tadi ada di sebelah kiri jalan. Masih masuk agak jauh, sih. Tapi arahnya ke sana.

Alun-alun Purwokerto tampak semakin meriah di malam hari. Kilauan lampu menghiasi tulisan “Purwokerto” dengan warna-warni yang silih berganti: merah, hijau, dan biru. Beberapa kendaraan odong-odong dan kereta api mini memancarkan sinar lampu warna-warni yang semakin menambah semarak malam. Lapak-lapak penjual makanan pun tak mau kalah menggelar dagangannya. Beberapa pengunjung tampak duduk lesehan begitu saja di atas rumput di tengah alun-alun sambil menikmati makanan. Bakso, mie ayam, siomay, nasi goreng, bakmi rebus, sroto, wedang ronde, bajigur, jagung rebus, kacang rebus, harum manis, dan penganan rakyat lainnya.

“Mau berhenti?” tawar Christie.

Fitra mengangguk. “Kita parkir di situ saja, Bu.” Fitra menunjuk sebuah kompleks pertokoan di seberang timur alun-alun.

Christie pun menuju pertokoan tersebut dan memarkir mobilnya. Ia lalu keluar diikuti Fitra. Mereka berjalan menuju alun-alun.

Lihat selengkapnya