12 Maret 2015
Jam dinding di lobi hotel menunjukkan sudah hampir pukul sembilan pagi. Dan Christie, Gya, juga Fitra, baru menampakkan diri di lobi. Hari ini mereka terlihat santai. Bahkan Christie seperti enggan melanjutkan perjalanan. Toh, ia sudah rapi dengan kemeja putih dan celana hitam yang merupakan pakaian kerjanya. Rencananya, ia memang mau langsung bergabung di acara rapat begitu sampai Yogyakarta. Sedangkan Fitra dan Gya, terserah mereka mau melanjutkan ke mana.
Gya dan Fitra berjalan menuju mobil sambil membawa beberapa tas yang kemarin ikut diturunkan. Sedangkan Christie menghampiri meja resepsionis di lobi untuk menyelesaikan pembayaran.
Petugas di lobi–pemuda yang kemarin–tampak mengetik sesuatu di komputernya.
“PNS, ya, Mbak?” Pemuda itu bertanya.
“Iya,” jawab Christie.
“Mau kuitansi kosong saja?”
Eh, hah?
Christie terbengong.
…
Gya berdiri di dekat mobil. Ia tampak mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana panjang hitam. Sweater abu-abunya tampak disampirkan di pundak. Sesekali ia bersandar sambil memandang ke utara menatap Gunung Slamet. Tampak pula ia mengeluarkan ponselnya dan memotret gunung tersebut.
Ya. Pagi ini Gunung Slamet terlihat gagah menjulang, jelas tampak dari tempat parkir hotel. Tingginya tampak “mengintimidasi”, sekaligus mengagumkan.
Fitra menghampiri Gya sambil menenteng carrier-nya. Ia memang memutuskan untuk membawa carrier besarnya ke kamar karena malas memilih-milih baju. Hari ini, ia mengenakan pakaian yang baru sama sekali, dengan kaos lengan panjang berwarna biru donker dan rok panjang abu-abu. Jilbabnya tetap berwarna biru meski lebih terang dari sebelumnya, menyesuaikan dengan warna kaos.
Fitra lalu membuka bagasi dan meletakkan carrier. Dan matanya tertumbuk pada sebuah plastik hitam. Milik siapa, ya? Rasanya, plastik yang digunakan untuk membungkus pakaian miliknya tidak ada yang berwarna hitam.
“Plastik ini milik siapa, ya?” Fitra bertanya pada Gya.
“Oh, itu punyaku.” Gya menjawab sekenanya tanpa menoleh. Ia begitu kagum dengan pemandangan Gunung Slamet dan tengah berusaha mencari angle yang pas untuk mengambil gambar.
“Punya Mbak Gya?” Fitra memastikan.
“Isinya baju kotor.” Lagi-lagi Gya menjawab tanpa menoleh.
“Oh, ya udah.” Fitra lalu menutup bagasi.
Christie tampak berjalan menghampiri keduanya. Wajahnya tampak ditekuk.
“Segitu jeleknya, ya, imej PNS?” Christie ikut menyandar di mobil, di samping Gya. Matanya menatap ke arah bidikan kamera Gya.
“Kenapa lagi, sih?” Akhirnya Gya teralihkan juga.
“Aku tadi ditawari kuitansi kosong.” Christie mendengkus kesal.
Ha? Gya memelotot. Dan sedetik kemudian langsung berusaha menahan tawanya.
“Kalo kamu nggak mau, buatku aja sini!” Gya berkata cuek.