Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #40

39 - KARANGBOLONG: Ambang Batas

Mobil kini berbalik arah menuju Karangbolong. Melewati bentang alam yang begitu indah dengan gunungan karang menjulang di sisi kiri dan sungai memanjang di sisi kanan. Pemandangan pun semakin memukau dengan langit biru cerah dan sembulan samar-samar berwarna hijau pulau Nusakambangan nun jauh di seberang.

Meski demikian, hamparan pemandangan indah itu seakan tidak mampu mencerahkan isi hati ketiga penumpang sedan putih berlambang singa itu. Ketiganya saling diam. 

Gya membelokkan kemudi ke arah kiri di mana terdapat lajur menyerong. Terlihat gapura yang menandakan bahwa mereka sudah berada di kawasan wisata Pantai Ayah dan Karangbolong. Mobil terus melaju melewati gapura dan menanjak. Gerungannya semakin menjadi-jadi. Gya menurunkan tuas perseneling ke gigi yang lebih rendah. 

Fitra melirik Gya sekilas. “Ambil ancang-ancang dulu, lalu injak pedal gas dalam-dalam. Di-‘kick-down’, Mbak.” Fitra memberi tahu.

Gya menuruti saran Fitra. Namun, perkiraannya selalu meleset. Akibatnya, mobil seolah kepayahan menanjak bukit. Mobil terdengar menggerung dengan keras.

Christie yang duduk di belakang mulai khawatir. Tanjakan yang dihadapi semakin curam. Sedangkan, sepertinya, jarak yang harus ditempuh masih jauh. Setidaknya, begitulah perkiraan Christie yang tengah memantau peta melalui GPS di ponselnya.

Gya melirik odometer. Tampak temperatur mesin beranjak naik, terlihat dari jarum penunjuknya yang terus bergeser. 

Gya kembali menginjak pedal gas dalam-dalam ketika lagi-lagi bertemu tanjakan. Dan lagi-lagi, perkiraannya kembali meleset karena mobil seolah kepayahan untuk mencapai posisi di dataran yang lebih tinggi. Sementara itu, jarum penunjuk temperatur pelan-pelan mulai melewati angka 90 derajat Celcius, dan semakin bergerak cepat menuju 100, bahkan lebih. Gya pun panik.

“Fit, ini nggak apa-apa?” Gya menunjuk jarum temperatur di layar odometer.

Air muka Fitra seketika berubah panik. Kalau temperatur mesinnya terus-menerus memanas seperti ini, bisa-bisa overheat!

“Mbak, coba menepi di situ dulu. Terus, matikan mesinnya.” Fitra menunjuk ke sempadan yang cukup lowong di depannya.

Gya menepikan mobil dan mematikan mesin. Meski demikian, suara berisik dari deru kipas angin radiator masih berbunyi.

“Bagaimana sekarang?” Gya bingung.

Fitra sama bingungnya. “Tunggu saja dulu.”

“Sampai kapan?” tanya Gya lagi.

“Sampai....” Fitra berpikir sejenak, “mesinnya dingin.”

“Iya. Itu kapan?” Christie menimpali.

Fitra diam saja.

“Berapa lama mesinnya bakal dingin?” Christie kembali bertanya. Ada sedikit tekanan dalam nada suaranya.

Fitra lagi-lagi hanya terdiam. Sejujurnya, ia pun bingung.

“PUAS KAMU SEKARANG???” bentak Christie.

Fitra terkejut. Ia pun menoleh ke belakang. “Apa, Bu?!?” Fitra tak kalah membentak.

“Kalo kamu nggak aneh-aneh milih jalan sepi, kita nggak akan terjebak di sini!” Nada suara Christie semakin meninggi.

“Siapa yang terjebak? Kan, udah saya bilang, tunggu aja sampai mesinnya dingin....” Fitra memotong cepat.

“Iya! Ditunggu sampai kapan? Kamu sadar nggak ini di atas gunung, di tengah hutan? Sekarang kamu mau minta tolong sama siapa?” Christie balas memotong ucapan Fitra.

“Mau Ibu apa, sih?” Fitra meradang.

“Kamu sadar nggak kalo kamu udah membahayakan saya dan Gya?” Suara Christie semakin meninggi. Ia sudah benar-benar kesal.

"Membahayakan?" Fitra terbelalak. Ia menoleh sekilas pada Gya, tetapi kemudian kembali menatap Christie. "Apanya yang membahayakan? Ini masalah sepele!"

"Yang di Cirebon kemarin juga masalah sepele?" tembak Christie. "Kamu memang nggak pernah berubah, ya? Kamu selalu seenaknya, semaunya, nggak ada tanggung jawab, dan sekarang kamu membahayakan orang lain!"

Fitra kembali terbelalak.

"Semua yang terjadi, itu karena kamu SOTOY!" Christie sepertinya tidak bisa lagi menyembunyikan amarahnya.

Fitra sendiri tampak terkejut. Ia tidak menyangka Christie bisa melontarkan kata-kata sekasar itu.

Gya, untuk kesekian kalinya, hanya bisa melongo melihat kedua temannya bertengkar hebat seperti itu.

“Ya udah! Kalo nggak mau bareng saya lagi, silakan keluar! Silakan jalan kaki saja sana ke Yogya!” Fitra tak kalah emosi.

Christie kehabisan kata-kata. Emosinya sudah berada di ubun-ubun.

"Saya sotoy, kan? Ibu yang pejabat, ibu yang paling tahu. Silakan!" tantang Fitra.

Napas Christie tampak naik-turun. Wajahnya memerah. Dan akhirnya, ia pun membuka pintu ... dan keluar!

“Chris!” Gya terkejut dengan tindakan Christie. Ia pun ikut keluar.

“Chris!” Gya memanggil sekali lagi.

“APA?!” Christie menjawab kasar.

“Kamu ngapain keluar? Mau jalan kaki ke Yogya?!?” Suara Gya terdengar membentak. Tingkah kedua temannya itu sepertinya membuat kesabarannya kian menipis.

“Kamu mau jalan kaki? Atau mau nunggu angkot? Nunggu bus? Panggil taksi? Kamu pikir ini di mana? Serpong? Bintaro? Blok M? Ini di atas gunung, Chris!” Gya berteriak.

Fitra akhirnya ikut keluar juga dari dalam mobil.

“Capek!” sungut Gya.

“Saya capek sama kalian!” teriak Gya.

Christie, juga Fitra, terkejut dengan teriakan Gya.

“Kenapa, sih, kalian berantem terus? Nggak bisa, ya, kalian menyelesaikan masalah kalian secara dewasa? Kalian itu bukan anak kecil lagi!” Gya kembali berteriak.

Christie menunduk. Emosinya sedikit mereda.

Begitu juga dengan Fitra. Terlihat raut wajahnya yang tampak bingung, dan merasa bersalah juga.

“Maaf, aku mungkin bukan orang yang tepat untuk ngomong. Aku sama sekali nggak merasakan yang kalian rasakan dan aku nggak ada di posisi kalian. Tapi....” Gya berhenti sebentar.

“Kalian berdua itu temanku.” Gya kembali berhenti. “Tolong dong….” Gya tampak mengusap kepala. Air mukanya menunjukkan keputusasaan.

Christie dan Fitra pun terdiam. Keduanya tampak salah tingkah. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan tidak enak satu sama lain.

Lihat selengkapnya