Hari mulai gelap. Perjalanan sudah lebih dari setengah jalan. Akan tetapi, mobil masih betah menyusuri jalan lintas selatan selatan dengan suasana khas pesisir. Dengan jalan dua lajur yang lebih mirip jalan antar desa, pepohonan rindang, serta rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan jalan. Kemudian sawah dan ladang, pertanian dan perkebunan rakyat yang menghampar luas. Dan sesekali pula berpapasan dengan kendaraan lain.
Christie melirik Fitra. Tampak Fitra tengah mengutak-atik ponselnya.
“Kirim SMS ke siapa?” tanya Christie.
“Ke Mas Juna. Cuma ngasih tahu kalo saya kemalaman,” jawab Fitra.
“Oh….” Christie melirik kaca spion di atasnya. Tampak Gya tengah tertidur.
“Kenapa, Bu?” tanya Fitra.
“Suami kamu asyik, ya?” Christie membuka percakapan basa-basi. Berkendara di jalan yang lurus seperti ini sepanjang puluhan kilometer bisa melenakan. Kalau kesadaran tidak dijaga, bisa-bisa malah mengalami micro-sleeping yang berpotensi menimbulkan kecelakaan.
“Kenapa?” Fitra kembali bertanya.
“Tidak mengekang.”
Fitra menoleh.
“Saya dari sejak berangkat ke Bandung ditelepon terus sama suami saya. Pas di Cirebon, dia menelepon saya sambil marah-marah. Tapi, saya belum lihat kamu sama suami kamu teleponan.”
“Hubungan kami memang aneh, kok,” jawab Fitra.
“Aneh?”
Fitra mengangguk. “Orang pasti berpikir kalau orang-orang macam saya, dan suami, pasti menjalankan pola rumah tangga yang … yah, gitulah.” Fitra mengangkat bahu. “Stereotyping orang-orang kayak saya. Yang mungkin orang mikirnya saya harusnya di rumah, jadi ibu rumah tangga, mendedikasikan diri untuk keluarga, dan tidak ambisius di karier. Dan sesekali mendampingi suami di acara Dharma Wanita.”
Christie menoleh sekilas, lalu tersenyum.
“Tapi … kalo Ibu mau tahu, suami saya itu malah tidak pernah mengizinkan saya sekali pun untuk mengikuti acara Dharma Wanita.”
“Loh?” Christie heran. “Kenapa?”
“Karena, bagi Mas Juna, istri itu partner sejajar. Bukan subordinat.”
Christie kembali menoleh.
“Ya udah. Bahasa gampangnya gini aja, deh.”
“Gimana?” Christie penasaran.
“Mas Juna itu feminis laki-laki.” Fitra terkikik.
Ha? Christie melongo.
“Gampangnya gitu aja, deh. Saya juga bingung jelasinnya.” Fitra tertawa.
“Tapi yang penting kalian cocok, kan?” Christie tersenyum.
“Setiap rumah tangga, kan, ada dinamikanya tersendiri, Bu. Nggak ada patokan khusus. Dan yang namanya menikah, itu sebenarnya kontrak sosial, antara dua orang, atau lebih.”
Christie kembali menoleh.
“Pokoknya ada kesepakatan. Yang mana kesepakatan itu bisa saja suatu saat nanti tidak relevan sehingga solusinya antara dibubarkan atau bikin kesepakatan baru,” jelas Fitra.
“Omonganmu nggak kayak….” Christie menggantung kalimatnya.
“Akhwat?” tebak Fitra.
Christie tersenyum.
“Saya dulu kuliah di FISIP, Bu. Bukan MIPA,” ujar Fitra.
“Iya. Saya tahu.” Christie tersenyum. “Kamu itu unik, Fit.”