Fitra terkejut karena tiba-tiba diseret polisi. “Ada apa ini, Pak? Apa salah saya?” Ia berusaha mempertahankan diri.
Polisi itu berhenti menyeret Fitra, tetapi genggamannya tetap kuat. Ia memberikan kode kepada polisi yang membawa bungkusan. Polisi yang membawa bungkusan mengangguk, lalu mengeluarkan kain hitam dari dalam bungkusan dan membentangkannya.
Christie dan Gya tampak terbelalak. Bagaimana tidak? Bungkusan itu berisi kain berwarna hitam dengan lambang organisasi ekstrimis yang tengah menjadi pembicaraan seluruh dunia. Sebuah bendera berlatar belakang hitam dan kaligrafi huruf Arab berwarna putih.
Fitra langsung merasa lemas saat itu juga. Raut wajahnya begitu ketakutan. Ia sadar dengan apa yang terjadi saat ini.
“Pak … sungguh … saya tidak tahu apa-apa….” Suara Fitra tercekat seperti ingin menangis.
“Lalu bagaimana barang ini ada di sini?!” bentak polisi yang memegang bendera itu.
“Sumpah … Demi Allah saya sama sekali nggak tahu.” Suara Fitra terdengar putus asa. Ia benar-benar ketakutan. “Itu bukan milik saya.”
“Sudah!” Polisi itu memotong ucapan Fitra.
“Anda jelaskan saja nanti di kantor polisi!” Polisi itu menyeret Fitra menuju mobil polisi.
Fitra yang merasa tidak bersalah pun berusaha memberontak.
“Pak! Demi Allah! Saya bukan TERORIS!” Fitra berteriak sambil berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman polisi itu begitu kuat.
“Jangan melawan! Atas nama hukum, Anda kami TANGKAP!” Polisi itu semakin tegas.
Polisi yang lain datang dan mencengkeram tangan Fitra yang satunya lagi. Ia tampak berusaha menelikungnya ke belakang.
Tentu saja Fitra tidak tinggal diam. Ia berusaha melawan sekuat mungkin. Hanya saja, bagaimanapun, tenaga Fitra yang seorang wanita tentu tidak ada apa-apanya dibanding dua polisi kekar yang meringkusnya. Ia pun menyerah ketika dipaksa berlutut, lalu tiarap. Kedua tangannya kemudian ditarik ke atas punggung. Seorang polisi lainnya datang sambil membawa borgol plastik. Ia kemudian mengikat tangan Fitra kuat-kuat. Fitra kini benar-benar tidak berdaya.
“Pak … saya mohon … saya tidak bersalah.” Fitra merintih. Suaranya melemah dan air matanya tumpah.
“Silakan Anda jelaskan di kantor!” Polisi itu kemudian memberdirikan Fitra dan kembali menyeretnya ke salah satu mobil polisi.
Lagi-lagi, Fitra berusaha mempertahankan dirinya. Tentu saja dengan tenaga yang semakin berkurang. Tadi saja ia tidak sanggup. Apalagi sekarang dengan kedua tangan terikat.
“Bu Christie … tolong saya, Bu….” Fitra semakin putus asa.
Christie sendiri seolah tersihir demi melihat kejadian di depan matanya. Ia terpaku seperti terpesona dengan sebuah adegan film. Tidak! Tidak! Christie berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Ini bukan adegan film! Ini adegan nyata! Namun, apa yang bisa ia lakukan?
“Saya mohon, Bu … tolong saya….” Fitra benar-benar ketakutan dan putus asa.
“Pak.” Suara Christie terdengar bergetar. Ia akhirnya berusaha memberanikan diri juga. “Fitra ini bukan teroris, Pak. Dia ini PNS. Dia staf saya.”