Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #43

42 - DI SUATU TEMPAT ANTAH BERANTAH: Dari Hati

Gelap. Itulah yang Christie rasakan. Ia tidak tahu akan ke mana meski kakinya terus melangkah. Ia hanya bisa mengikuti dua orang yang membawanya dengan mencengkeram keras kedua lengannya itu. 

“Bawa ke sini dulu!” Terdengar sebuah suara.

Christie lagi-lagi hanya mengikuti. Bahkan, ia tidak bisa membedakan kiri dan kanan. Gelap membuatnya mengalami disorientasi total.

“Berlutut!” 

Seseorang memberikan perintah sambil menekan pundaknya ke bawah. Ia pun menurut dengan menekuk lututnya hingga menyentuh permukaan keras. Cengkeraman di kedua lengannya terasa terlepas. Namun, tetap saja ia tidak bisa berbuat apapun karena kedua tangannya terikat di punggung. Dengan mata tertutup kain, ia hanya bisa pasrah menunggu nasib.

Beginikah perlakuan terhadap penjahat? Bagaimana nasib Fitra? Jika polisi menangkap orang yang tidak bersalah, layakkah orang itu diperlakukan seperti ini?

Namun … benarkah Christie tidak bersalah? Sama sekali tidak bersalah? Yakin? Benarkah ia sama sekali tidak terlibat dengan proses pemisahan Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah menjadi kementerian baru?

Tapi aku hanya menjalankan perintah.

Perintah siapa? Benar kata Gya, tidak mungkin ada PNS dengan dua induk. Tapi … konsep reorganisasi dengan empat direktorat jenderal, yang jelas-jelas untuk membentuk kementerian baru, tidak pernah keluar. Bukan … bukan tangan Christie yang menjadi arstiteknya. Pasti ada tangan yang lain. Tapi … kenapa konsepnya bisa begitu mirip?

Sebentar … jika memang bukan Christie, berarti adalah sah jika ia kini dipertahankan kementerian untuk membentuk unit organisasi baru. Ia tidak terlibat dengan konsep kementerian baru, kan? Hanya saja, bagaimana dengan nasib 500-an pegawai Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah yang hanya tinggal menunggu surat keputusan pindah? Egois sekali, bukan, jika seorang pemimpin meninggalkan pengikutnya? Namun, Christie sendiri juga mengikuti perintah pimpinan di atasnya. Apa yang salah dari itu? Namun, jika tidak ada yang salah … kenapa Christie merasa ada sesuatu yang salah?

Entah berapa lama Christie berada dalam posisi seperti itu, dipaksa berlutut dengan mata tertutup dan tangan terikat. Namun, sebuah kesadaran baru justru menyesap. Mungkin … memang ada sesuatu yang harus dilakukannya. Akan tetapi … apa?

Sebuah suara grendel menyadarkan Christie. Seperti ada sesuatu yang dibuka. Dan ia kembali berdiri ketika sebuah tangan meraih lengannya. Suara grendel itu semakin kencang, diikuti suara seperti derit pintu. 

Tiba-tiba sebuah tangan terasa seperti tengah membuka ikatannya. Pergelangan tangannya pun terasa lega. Kemudian, tangan lainnya membuka kain yang membebat matanya. Perlahan, cahaya pun masuk ke penglihatannya. Fitra adalah hal pertama yang terlihat. Ia tampak duduk meringkuk dengan wajah ketakutan sambil memeluk lutut.

“Masuk!” Sebuah tangan mendorongnya.

Christie pun melangkah, kemudian membalik badan. Tampak jeruji besi terpampang di hadapannya. Dua orang polisi tampak berada di luar. Salah seorang tampak mengunci pintu. Setelah itu, keduanya pergi dan menghilang dari pandangan.

Fitra menatap Christie dengan canggung. Christie pun terlihat salah tingkah. Ia kemudian duduk di samping kiri Fitra. Menyandarkan punggung di tembok dan memeluk lutut. 

Suasana terasa sepi. Sesekali terdengar kendaraan lewat nun jauh di sana. Entah di mana. Christie sama sekali tidak tahu di mana ia sekarang berada.

“Masih lebih baik sekarang dibanding yang dulu.” Tiba-tiba Fitra berkata pelan.

Eh? Christie menoleh.

“Setidaknya, sekarang saya ada teman.” Fitra tersenyum pahit.

Christie pun tersenyum. “Yang waktu shortcourse yang dulu itu, ya?”

“Padahal alarmnya nggak bunyi. Tapi saya tetap disuruh menepi. Tubuh saya digeledah, tas saya dibongkar.” Fitra menghela napasnya. “Dan kesalahan saya dicari-cari. Sampai urusan buku saja jadi masalah. Picik sekali orang menganggap buku tentang agama sama dengan buku soal terorisme.”

“Mau membicarakannya? Mungkin bisa bikin kamu lega?” Christie menggenggam tangan Fitra, berusaha menguatkannya.

Fitra menunduk. “Waktu itu … saya diminta mengangkat tangan. Sudah seperti buronan penjahat saja.” Terdengar tawa getir dari mulutnya. “Lalu, tangan saya diborgol. Saya kemudian digiring ke suatu ruangan tertutup.” Fitra kembali menghela napasnya. “Ruangan sempit seperti tempat interogasi. Hanya ada satu meja dan satu kursi. Saya didudukkan di kursi itu. Tetap dengan tangan terborgol.” Fitra menunduk. “Dan saya ditinggalkan begitu saja. Entah berapa lama. Tapi saya merasanya lama sekali.” 

Christie menggenggam tangan Fitra lebih erat. Ia tahu, kok, seperti apa rasanya. Baru saja ia diperlakukan seperti itu juga, kan?

Lihat selengkapnya