Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #44

43 - DI SUATU TEMPAT PERTEMUAN: Maksud Terselubung

Ballroom hotel mewah itu tampak penuh orang. Semua berpenampilan rapi, dan parlente. Beberapa mengenakan batik, dan beberapa mengenakan jas, lengkap dengan kemeja dan dasi. Sebagian lainnya berpenampilan sederhana. Tepatnya, “sederhana”. Karena, meski terlihat “hanya” mengenakan pakaian berupa kemeja putih dan celana hitam, tetap saja terlihat betapa kemeja putih tersebut bukan pakaian murahan yang biasa dibeli di grosir pasar kain. Orang pasti bisa melihat dengan jelas, mana kemeja putih seharga 100.000 rupiah, dan mana yang seharga 500.000 rupiah. Atau bahkan satu juta.

Seorang pria paruh baya berpakaian putih-hitam tampak menyelip di antara para tamu. Tapi kau pasti bisa menebak kalau ia tidak sedang berpenampilan sederhana. Jauh dari sederhana, bahkan. Dan sangat cocok dengan raut wajahnya yang tidak terlihat seperti berasal dari kalangan orang susah.

Pria itu cukup tampan meski usianya sudah separuh abad dengan rambutnya yang memutih. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 165 sentimeter. Akan tetapi perawakannya tampak gagah, tegap, dan enak dilihat. Sorot matanya sangat berkarisma, sangat menunjukkan kalau ia adalah orang yang cerdas. Atau … mungkin juga licik.

Tampak beberapa kursi dan meja kecil di luar ballroom disusun seperti suasana kafe dengan posisi meja di tengah. Beberapa sudah terisi dengan para tamu yang sibuk mengudap penganan ditemani secangkir kopi atau teh. Dan beberapa lainnya, yang posisinya agak jauh dari ballroom, tampak kosong.

Pria berkarisma itu tampak keluar dari ballroom. Namun, ia tidak berminat untuk bergabung dengan siapapun. Ia justru berjalan menuju meja yang masih kosong. Langkahnya mantap menuju salah satu tempat di sisi jendela yang tidak ada penghuninya. Ia pun duduk di sana sambil menatap keluar jendela. 

Terlihat pemandangan depan hotel dari lantai atas. Jalan melintang dari barat ke timur. Kerlip kendaraan tampak berkilauan. Di seberang hotel tampak beberapa ruko berdiri, terlihat dari lampu-lampunya yang menyala.

Pria itu tampak termenung seperti memikirkan sesuatu. Sebelah tangannya memegang ponsel pintar. Beberapa kali ia menatapnya dan seperti mengetikkan sesuatu, dan kemudian kembali menatap keluar.

“Selamat, Pak Ferdi.” Sebuah suara tiba-tiba menyapa.

Pria itu pun menoleh. Raut wajahnya sontak terkejut seperti melihat hantu. 

“Anda?” Ia membalas sapaan itu dengan nada tidak bersahabat.

“Kenapa sambutannya begitu? Kita, kan, sama-sama teman seperjuangan.” Pria itu kemudian duduk di depan orang yang dipanggil “Ferdi” itu. Sama seperti Ferdi, usianya sepertinya sudah mencapai setengah abad. Bedanya, ia lebih tinggi. Wajahnya pun terkesan lebih keras terutama dengan kumis tebal di atas bibirnya.

“Anda sedang apa di sini, Pak Rudi? Pak Menteri tidak mengundang Anda.” Ferdi membuang muka.

Pria yang dipanggil Rudi itu tertawa. “Saya datang bersama dengan ‘Pak Menteri’ yang lain.” Ia memelankan suaranya seolah tidak ingin terdengar.

Ferdi menatap tajam Rudi. “Jadi, benar semua isu tentang Anda? Bahwa Anda telah menikung Pak Menteri kita.” Ferdi menggeleng-geleng. “Luar biasa! Saya tidak menyangka kalau Anda berani bermain sendirian.”

“Sendirian?” Rudi terbelalak, tetapi kemudian kembali tertawa. “Siapa yang bermain sendirian? Tidak ada yang bermain sendirian. Justru Anda itu yang nekat.” Ia memamerkan senyum liciknya. “Tapi saya jadi tahu. Ternyata Anda tidak sepintar yang saya duga.”

Ferdi tampak tersinggung dengan kata-kata Rudi. “Apa maksud Anda?” Matanya tampak menyapu sekeliling. Tampak orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa pegawai hotel tampak mondar-mandir mengangkut piring-piring dan gelas-gelas yang sudah kosong.

“Pekerjaan-pekerjaan terkait perencanaan wilayah itu melibatkan banyak stakeholder. Asosiasi-asosiasi. Developer-developer. Banyak … masih banyak lagi yang punya kepentingan. Anda tidak bisa bermain sendirian.” Rudi tersenyum sinis.

Ferdi masih menatap tajam Rudi. Bahkan, ketika ponselnya menyala, pertanda ada telepon masuk, ia tetap tak menggubris. Alih-alih, ia malah mematikan dering telepon tersebut.

“Inilah kesalahan Anda, Pak Ferdi.” Rudi menggeleng-geleng. “Anda terlalu ambisius. Masalahnya, Anda itu kurang tenaga untuk ambisi Anda yang terlalu besar.”

Ferdi berpura-pura tidak mendengar. Matanya sibuk menatap ponsel. Lagi-lagi ada telepon masuk. Namun, ia kembali mematikannya.

“Ingin jadi menteri." Rudi tertawa terbahak-bahak. “Ferdi … Ferdi….” Ia menggeleng-geleng. “Tapi … saya tetap berterima kasih pada Anda. Berkat ambisi Anda, saya kini tinggal melanjutkan saja pekerjaan Anda yang Anda tinggal begitu saja … karena gagal.”

Ferdi menatap Rudi tanpa bergeming. Wajahnya tampak mengeras. Semburat merah pun sedikit tampak. Sepertinya, ia tengah berusaha menahan emosinya.

“Kita sama-sama mengerjakan ini, Pak Rudi.” Ferdi berkata tajam. Ada penekanan ketika ia mengatakan “Pak”. 

“Ya. Tentu saja.” Rudi kembali tersenyum licik.

“Dan Anda malah menusuk dari belakang.” Ferdi menegaskan.

Rudi pun kembali terbelalak. “Wow! Tahan dulu tuduhan Anda, Bung!” Ia mengangkat tangannya di atas meja dengan gestur seperti menahan. “Bukan saya yang menusuk dari belakang. Melainkan Andalah yang melarikan diri.”

Ferdi kembali menatap tajam Rudi.

Seorang pelayan tampak mendekati mereka sambil membawa piring berisi makanan kecil. Ia meletakkan dua piring di sana, lalu menawarkan minum. “Mau minum teh atau kopi, Pak?” tawarnya.

“Tidak usah … tidak usah. Nanti saya ambil sendiri, ya?” Rudi yang menjawab.

“Baik, Pak.” Pelayan itu pun pergi.

Ferdi menatap pelayan yang berjalan menjauh itu.

Rudi memang sengaja “mengusirnya” dengan halus.

“Kok, Anda menuduh saya yang menikung, Fer?” Rudi tampak mengejek. “Bukankah reorganisasi Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah adalah inisiasi Anda?” Rudi mengingatkan. “Dari sejak awal, usulan-usulan tentang reorganisasi datangnya dari Anda. Bahkan, Anda yang ngotot meski harus mengambil anggaran dari kegiatan lain. Saya harap Anda tidak lupa.”

Lihat selengkapnya