Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #45

44 - KUTOARJO: Hidup Itu Seperti Perjalanan dengan Alur yang Sulit Dimengerti

Gya tampak menunggu dengan gelisah. Ruangan tempatnya duduk sekarang memang sangat mengintimidasi. Ia merasa tidak nyaman. Tentu saja, siapa yang nyaman menunggu di kantor polisi … di ruang bertemu dengan tahanan pula!

Gya memang tidak ikut ditangkap. Namun, ia diminta untuk ikut juga ke kantor polisi. Itu sebabnya ia ngeles ingin menelepon pengacara. Ralat, “pengacara” maksudnya. Karena, ia pun tidak punya pengacara sebenarnya.

Namun, dalam situasi gawat seperti ini, otaknya harus berputar dengan cepat. Penangkapan Fitra, juga Christie, benar-benar di luar dugaan sama sekali. Siapa yang pernah terpikir untuk ditangkap polisi? Siapa yang tidak kaget jika tahu-tahu disergap di tengah jalan, di tempat sepi antah-berantah, dengan tuduhan serius pula: terorisme!

Tadi, Gya berusaha menghubungi seseorang. Dengan menggunakan ponsel Christie yang tertinggal, tepatnya. Dan di benaknya hanya ada satu nama: Ferdi.

Bukan tanpa alasan Gya menghubungi Ferdi. Gya ingat kalau Christie pernah mengatakan kalau Ferdi itu memiliki latar belakang sebagai sarjana hukum. Dan Ferdi jaringannya luas, lobinya juga kuat. 

Setidaknya, bukan tanpa alasan juga jika orang-orang menyalahkan Ferdi atas lepasnya Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah. Orang yang bisa melobi untuk memisahkan unit organisasi menjadi kementerian tersendiri pasti bukan orang biasa. Dan faktanya, Ferdi memang bukan orang biasa. Ia orang yang luar bisa. Luar biasa brengsek, maksudnya. Gya menyumpah dalam hati.

Tiga kali Gya menghubungi Ferdi, dan tiga kali pula teleponnya ditolak.

Ferdi sialan!

Gya merutuk. Padahal, nyaris sepanjang jalan ia terus-terusan merecoki Christie. Giliran Christie yang butuh, ia malah melengos. Kalau begini, hanya ada satu jalan. Meski itu pun rasanya nyaris mustahil. Karena Gya pun tidak berhasil menghubunginya. Berkali-kali  menelepon, dan berkali-kali pula tidak diangkat. Ah, mungkin ia memang kelewat sibuk. Posisinya sudah sangat tinggi. Apa iya orang itu masih punya waktu untuk mengurusi orang selevel Christie, apalagi Fitra? 

Meski demikian, itu adalah satu-satunya harapan. Makanya, tadi Gya pun akhirnya mengirimkan pesan agak panjang. Menjelaskan apa yang terjadi. Lalu dikirim ke salah satu nomor yang masih disimpan di ponsel Christie dengan nama “Direktur Jend….”

Klak!

Suara derit pintu membuat Gya menengadah. Lamunannya buyar. Tak lama, polisi masuk sambil menggiring Christie. Tampak penampilan Christie yang benar-benar kacau. Pakaiannya kusut, rambutnya agak berantakan, ditambah wajahnya tampak lecet dan sedikit lebam. Kedua tangannya terborgol di belakang.

Polisi yang mengawal kemudian membuka borgol yang mengikat Christie. Begitu terlepas, Christie langsung menghambur memeluk Gya dan menumpahkan seluruh perasaannya. 

Malam itu, Christie tampak begitu rapuh. Gya pun membiarkannya. Bagaimana pun Christie hanyalah manusia biasa. Setinggi apapun jabatannya, ia pasti remuk jika terus-terusan “dihajar”. Proses reorganisasi dan mutasi massal saja sudah begitu banyak menghabiskan energi. Apalagi ditambah dengan penjara.

“Fitra gimana, Chris?” Gya pelan-pelan melepaskan pelukannya.

“Baik.” Christie mengusap matanya, kemudian duduk.

Gya pun duduk di hadapan Christie. Keduanya dipisahkan oleh meja.

“Aku cuma diizinkan menemui satu orang. Makanya aku pilih ketemu kamu aja,” jelas Gya.

Christie menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya di atas meja.

“Di antara kamu dan Fitra, kamu yang emosinya lebih stabil. Dan….” Gya melirik ke polisi yang berjaga di pintu. “...tuduhan kepadamu lebih ringan.”

Christie masih menunduk, meski bibirnya mengulum senyum.

Gya pun tersenyum. “Kamu, sih, nekat. Kenapa juga pakai melawan petugas?”

“Spontan, Gy.” Christie menengadah. “Aku cuma membela Fitra. Bagaimana pun dia adalah tanggung jawabku sebagai atasan.” Ia menatap Gya. “Seorang pemimpin tidak boleh lari meninggalkan anak buahnya.”

Gya tersenyum.

“Ini berlaku untuk semuanya. Sama seperti pimpinan tinggi. Bahkan, presiden sekalipun. Dia tidak boleh meninggalkan rakyatnya. Seorang pemimpin itu harus bersedia menanggung amanat penderitaan rakyat,” lanjut Christie.

“Ya udah. Mudah-mudahan kamu suatu saat nanti jadi presiden.” Gya mencoba mencairkan suasana dengan bercanda.

“Maaf. Nggak minat.” Christie mencibir.

Gya terkikik pelan. Tampaknya, suasana hati sahabatnya itu mulai tenang.

“Aku tadi coba telepon pengacara,” jelas Gya.

“Pengacara?” Christie bingung. “Aku baru tahu kalau kamu punya pengacara.” Namun, sungguh Christie memang bingung betulan. Tarif pengacara itu mahal, lho. Apa iya Gya sanggup membayar pengacara?

Gya tampak pasrah. “Nggak tahu juga. Tapi aku sedang mencobanya.”

“Siapa?” Christie lagi-lagi heran.

“Ada … lah.” Gya menoleh menatap pintu keluar. Raut wajahnya tampak cemas. “Tapi belum datang.” Gya kembali menoleh menatap Christie. “Mudah-mudahan dia mau datang. Ini harapan terakhirku.”

Christie menunduk. “Harusnya, aku mendengarkan Mas Yos.” Ia seperti menyesal. “Sejak awal, ia tidak setuju aku melanjutkan perjalanan dinas ke Yogyakarta. Tapi aku ngotot. Bahkan….” Christie kembali berhenti karena air matanya kembali tumpah. “…aku sudah mencelakakan Fitra.” Ia menunduk semakin dalam.

“Aku yang salah, Chris.” Gya menggenggam tangan Christie. “Maafkan aku. Aku nggak nyangka bakal kayak gini.” Gya menghela napas. “Aku yang mengusulkan untuk menumpang mobil Fitra.”

Christie kembali mencoba tersenyum dan mengusap air matanya. “Sudahlah. Ini semua sudah terjadi.”

“Benar-benar nggak nyangka, ya? Baru kali ini ada perjalanan dinas yang berakhir di penjara.” Gya geleng-geleng kepala.

Christie tertawa kecil. “Hidup itu seperti perjalanan dengan alur yang sulit dimengerti. Kadang, alur seolah berbelok ketika seharusnya lurus. Kadang juga, alur seakan berlanjut meski jalan di depan tampak buntu. Apapun itu, tugas manusia hanya menjalaninya dengan sebaik-baiknya.” Christie pun tampak pasrah.

Gya lagi-lagi tersenyum. Getir. “Omonganmu sudah kayak filsuf.”

Christie pun tertawa. “Aku baru sadar kenapa banyak orang menjadi besar justru karena dipenjara. Bung Karno, Syahrir, dan masih banyak lagi. Karena kadang kita butuh penjara untuk merenungi ulang makna hidup yang sudah kita jalani. Padahal aku baru beberapa jam di sel, tapi kamu bilang omonganku udah kayak filsuf.”

Lihat selengkapnya