Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #49

48 - YOGYAKARTA: Pertimbangan

Jalanan mulus dan lebar dengan empat lajur membuat Gya tergoda untuk memacu kendaraan dengan lebih kencang lagi. Beberapa kali ia menyalip truk-truk besar di depannya. Pepohonan rindang berdiri di sisi-sisi jalan dan membuat suasana terasa sejuk meski hari sudah beranjak hampir tengah hari. Kumandang lantunan ayat suci Al-Quran mulai terdengar dari masjid-masjid yang tersebar di sepanjang jalan seiring dengan semakin dekatnya waktu untuk menunaikan salat Jumat.

Mobil berjalan melewati sebuah masjid besar di pinggir jalan ketika memasuki kota Wates. Beberapa orang tampak mulai mempersiapkan kegiatan ibadah siang itu. Sebuah bus besar berisi rombongan wisata terlihat merapat ke parkiran masjid. Para penumpangnya tak lama berhamburan ke luar. Ada yang duduk-duduk di pelataran masjid dan ada pula yang menghampiri gerobak penjual makanan.

Gya terus mengendarai mobil hingga melewati masjid tersebut. Bagaimanapun, tidak ada satu pun penumpang sedan putih berlambang singa itu yang akan melaksanakan salat Jumat. Jadi, lebih baik mobil terus dipacu saja hingga tiba di kota Yogyakarta.

Mobil kemudian berhenti di sebuah persimpangan besar karena lampu lalu lintasnya menyala merah. Sebuah poster iklan layanan masyarakat terpampang di kiri jalan mencoba mengingatkan bahaya rokok. Tulisannya besar-besar jelas terpampang: “ROKOK DAPAT MENURUNKAN GAIRAH DAN KESUBURAN”

Fitra menatap poster besar itu. Gambarnya menunjukkan sepasang lelaki dan perempuan, mungkin suami-istri, dalam posisi saling membelakangi dengan raut wajah sayu.

“Saya kehilagan gairah jadi PNS.” Fitra berkata datar sambil matanya tetap melekat menatap poster.

“Hah?” Gya kaget, lalu menoleh sekilas.

“Kalau begini caranya, saya kehilangan gairah untuk menjadi PNS.” Fitra mengulangi kata-katanya.

Gya kembali melirik Fitra.

“Luar biasa sekali!” Fitra mendengkus. “Ada gitu, ya? Orang-orang tertentu yang karena punya kuasa, kekuatan, modal, jaringan … lalu mereka seenaknya sendiri, hingga mengatur-atur nasib orang lain.” Fitra menarik napas kuat-kuat dan menghembuskannya. “Atas dasar apa kelompok manusia yang satu merasa berhak mendikte kelompok manusia yang lain?” Nada suaranya terdengar emosi. “Demi apa mereka melakukannya? Demi bangsa dan negara?” Menoleh ke Christie dan Gya. “Bullshit!”

Christie kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi di jok belakang. “Itulah realitas, Fit. Kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Kita punya keterbatasan.”

“Tapi kenapa mereka bisa?” Fitra tidak terima.

“Tapi bahkan Pak Menteri pun juga tidak berdaya.” Christie menambahkan.

Fitra menghela napas dan menyandarkan punggungnya. Tampak di depan sebuah tugu yang bentuknya mirip pensil. 

“Ke kiri aja, Mbak.” Fitra memberi tahu.

Gya pun menuruti Fitra.

“Kalau lurus itu ke Bantul. Mending ke kiri aja, ke arah Sleman.” Fitra kembali memberi tahu.Gya memegang kemudi sambil sesekali melirik Fitra yang tampak menerawang keluar jendela.

Lihat selengkapnya