Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #51

50 - YOGYAKARTA: Keputusan

Mobil kembali keluar dari kota ketika melewati sebuah gapura. Kini, ketiga sekawan PNS itu memasuki kembali wilayah yang secara administratif sudah termasuk kabupaten Sleman, tetapi dengan kondisi yang tidak berbeda dengan perkotaan.

Gya mulai memelankan laju kendaraan ketika melewati sebuah mal besar di kiri jalan yang di tengahnya terdapat bangunan cagar budaya tempat peristirahatan keluarga keraton, dan akhirnya menyalakan lampu sein kiri menjelang pintu masuk hotel mewah yang terletak persis setelah mal.

Terlihat banyak polisi berjaga di sana. Kendaraan-kendaraan yang masuk pun diperiksa ketat. Sedan putih berlambang singa itu pun ikut mengantre.

“Permisi.” Salah seorang petugas keamanan mengetuk jendela ketika mobil berhenti. Sementara satu orang lagi tampak memeriksa kolong mobil dengan detektor logam.

Gya pun membuka jendela dan central lock.

Raut wajah Fitra menegang ketika melihat pasukan berseragam dengan senjata laras panjang itu. Meski demikian, ia berusaha untuk tetap tenang. 

Christie pun juga tampak tegang, apalagi ketika pintu di sampingnya dibuka dan petugas berseragam polisi itu melongok masuk untuk memeriksa isi dalam mobil.

“Terima kasih.” Polisi itu menutup pintu dan mempersilakan mobil untuk masuk.

Gya pun kembali memajukan mobil dan mencari tempat parkir.


Lobi hotel tampak ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Sebagian besar dari mereka berpenampilan parlente—kontras dengan penampilan Christie, Gya dan Fitra yang tampak berantakan.

Para tamu itu banyak yang mengenakan batik mahal. Sebagian lainnya tampak mengenakan jas—pastinya juga mahal. Yang mengenakan kemeja putih pun juga terlihat berkelas. Adapun yang berpakaian lebih “sederhana” tampak memanggul tas ransel dan menenteng kamera. Sepertinya mereka adalah wartawan yang ditugaskan untuk meliput rapat kabinet.

Christie tampak celingukan mencari petunjuk lokasi rapat.

“Jangan-jangan sudah selesai?” gumam Gya. Matanya tertumbuk pada meja resepsionis di mana banyak orang berkerumun sambil membawa tas besar atau koper. 

Fitra pun mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, siapa tahu ada orang yang dikenalnya.

“Bu Christie!”

Sebuah suara membuat ketiga PNS itu menoleh. Kemudian, tampaklah sesosok pria paruh baya dengan wajah penuh karisma datang menghampiri. Rambutnya putih, tetapi wajahnya masih menyisakan ketampanan. Sorot matanya terlihat cerdas. Namun, di mata Fitra, ia tak lebih dari sosok licik ambisius. Ferdi.

“Akhirnya datang juga.” Ferdi langsung meraih tangan Christie dan bersalaman dengannya.

“Beres, kan, urusannya?” tanya Ferdi. Entah serius, entah basa-basi.

Christie pun hanya melempar senyum sinis tanpa menjawab.

“Nomenklatur kementerian yang baru sudah ditetapkan. Ada sebagian tusi yang tidak dilepas ke kementerian baru. Bu Christie termasuk yang dipertahankan karena kementerian membutuhkan masukan dari Bu Christie sebagai kepala kepegawaian untuk menyusun lebih lanjut organisasinya.” Ferdi langsung memberikan informasi.

Fitra diam tanpa komentar.

Gya pun hanya menatap Ferdi dengan sorot mata tidak suka. Semalam ia begitu cuek tidak mau mengangkat telepon. Sekarang ia begitu semringah. Karena berhasil mempertahankan posisi? 

Christie sendiri hanya menunduk tanpa berkomentar. Padahal jelas-jelas wajahnya sedikit lebam gara-gara sempat kena hajar aparat. Tanya kenapa, kek!

“Eh, Fitra!” Ferdi kemudian beralih ke Fitra.

Fitra hanya melempar senyum sinis.

“Berterima kasihlah pada Pak Menteri. Meski kamu bukan lagi stafnya, beliau masih mau membantu untuk kasusmu. Beliau memang orang yang sangat luar biasa.” Ferdi mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

Lihat selengkapnya