Sore itu, Fitra mengendarai Peugeot 405-nya untuk mengantarkan Christie dan Gya menuju bandara Adi Sucipto. Christie akhirnya mendapatkan tiket pesawat juga untuk pulang ke Jakarta. Sedangkan, Gya akan terbang ke Bali—ia juga sudah mendapatkan tiket.
Wajah Fitra kini sudah lebih cerah. Setidaknya, ia telah merasa mendapatkan titik terang. Lebih jauh, ia telah mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang cukup drastis untuk pilihan hidupnya. Yah, ia memang harus mengambil keputusan.
Sedan putih itu terus melaju ke arah timur. Menyusuri jalan demi jalan di antara kendaraan lainnya. Menyelusup lincah di antara keramaian sore hari. Suasana tetap terasa santai meski jalanan padat oleh berbagai kendaraan. Tetap mengalir dan jarang terdengar klakson bersahutan tanda pengendara yang tidak sabar.
Mobil berhenti di pertigaan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Sebuah jembatan layang membentang dari sisi selatan jalan, hingga lurus searah jalan menuju timur. Tembok-temboknya penuh dengan poster. Beberapa poster tampak bertuliskan kata-kata protes: “JOGJA ORA DIDOL!”. Mungkin si pembuat poster itu memang benar-benar prihatin dengan begitu maraknya pembangunan. Setidaknya, di sepanjang jalan ini, beberapa lahan terlihat tengah dibangun dengan bentuk arsitektur yang mirip hotel. Yogyakarta masih kekurangan hotel rupanya.
Christie, yang duduk di depan, melirik Fitra yang sedari tadi tampak serius dengan kemudi di tangannya.
“Fit?” panggil Christie.
“Ya?” Fitra memajukan mobilnya dengan penuh konsentrasi.
“Kamu yakin dengan keputusanmu tadi?” tanya Christie memastikan.
Fitra tampak terdiam. Matanya masih tidak mau lepas dari jalan. Mobil berhenti di pertigaan Maguwo seiring dengan lampu lalu lintas yang menyala merah. Beberapa pengamen waria turun menghampiri kendaraan demi kendaraan untuk mempertunjukkan kebolehannya: menyanyi sambil mengecrek beberapa tutup botol yang dikaitkan pada tongkat. Fitra mengangkat tangannya sebagai kode bahwa ia tidak berminat memberi ketika salah satu pengamen itu menghampiri mobilnya. Tak lama, mobil kembali melaju ketika lampu lalu lintas menyala hijau.
“Bu, saya itu bukan PNS baik-baik.” Fitra kembali berkata ketika mobil menyeberangi persimpangan. "Semua yang Ibu pernah bilang itu benar. Saya sering terlambat. Saya tidak pernah mengikuti upacara. Saya kabur cuti. Saya sengaja mengulur waktu kuliah." Fitra menarik napas panjang. “Maafkan saya, Bu,” ujarnya lirih.
Christie terdiam. Ia tampak melihat ke depan. Beberapa toko oleh-oleh berdiri di pinggir jalan. Namun, dalam perjalanan dinas kali ini, ia tidak berminat membeli oleh-oleh.
“Tapi, saya tidak ingin terus-terusan menjadi PNS ‘bandel’. Saya dibayar negara bukan untuk itu. Saya ingin memberikan makna … saya tidak ingin PNS hanya sekadar menjadi status.” Fitra kembali berhenti.
Lampu lalu lintas kembali menghadang. Kali ini karena pertigaan dengan belokan menuju bandara Adi Sucipto.
“Saya berasal dari keluarga pendidik.” Fitra kembali berkata. “Jadi, tidak salah, kan, kalau saya ingin mengikuti jejak kedua orang tua saya?” Fitra menoleh menatap Christie. “Saya ingin menjadi dosen. Saya ingin mengabdi dengan cara seperti itu.”
Christie menoleh. Ia menatap lekat orang yang—pernah—menjadi bawahannya itu. Kesedihan kembali menyergap ketika ia sadar bahwa setelah ini ia tidak akan bekerja dengannya lagi. Meski demikian, di sisi lain, ia juga merasa senang karena Fitra telah menentukan pilihannya.
Mobil kembali melaju dan berbelok ke kanan ketika lampu lalu lintas berganti hijau. Kemudian, mobil memasuki pelataran parkir yang luas. Fitra dengan lincah memarkir mobil di tempat yang kosong.
Ketiganya kemudian keluar dan berjalan melalui terowongan yang menghubungkan tempat parkir dengan bandara. Fitra mengantarkan Christie dan Gya hingga di depan pintu masuk. Pintu masuk itu sendiri tampak begitu padat dengan banyaknya orang sehingga tak ubahnya terminal bus. Beberapa tampak mengambil antrean yang sudah mengular. Sudah tidak layak untuk menjadi bandara tampaknya. Apalagi untuk menyambut tamu internasional. Perlu dibangun bandara baru yang lebih layak dan lebih banyak daya tampungnya.
“Fit?” Christie berdiri berhadapan dengan Fitra. “Kita … pasti akan ketemu lagi, kan?”
Fitra tidak menjawab dan malah menunduk.
“Saya kayaknya bakal kangen sama kamu, Fit.” Christie menatap Fitra dan tersenyum.