Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #53

52 - TANGERANG SELATAN: Rumah

Kerlip lampu tampak menghiasi hari yang telah beranjak gelap. Namun, jalanan sepertinya belum ingin beristirahat. Kota yang tidak pernah beristirahat, begitulah konon katanya. Tadinya, orang menyebut ini untuk menggambarkan Jakarta: the city that never sleeps. Namun, para pegiat di Jakarta semakin tersingkir ke pinggiran. Maka, yang tak pernah tidur pun merembet. 

Kawasan elite BSD adalah salah satu yang terimbas. Padahal, jalan sudah sedemikian lebar. Namun, tetap saja kendaraan menumpuk dengan suara klakson bersahutan dan polusi udara beradu balap beterbangan. Dan masa-masa akhir pekan adalah deritanya para pejuang rupiah yang ingin kembali ke rumah masing-masing.

Christie tampak duduk di kursi belakang sebuah taksi berwarna biru muda yang meluncur di antara macetnya akhir pekan. Wajahnya tampak penat. Sesekali matanya tampak terpejam meski detik berikutnya ia berusaha untuk kembali terjaga. Meski alamat rumahnya mudah dicari, rasanya tetap saja lebih aman merangkap peran sebagai navigator.

Hidup adalah sebuah perjalanan dengan alur yang sulit dimengerti. Perjalanan dinas inilah buktinya. Lima hari kerja ia berada di luar rumah. Berhari-hari lamanya waktu yang ia butuhkan untuk mencapai tempat tujuan. Demi pembahasan penting yang ternyata tidak ia ikuti sama sekali. Mungkin memang bukan hal penting untuk dibicarakan. Atau dirinya saja yang tidak terlalu penting—ingat, bukankah para hadirin rapat yang terhormat itu memang orang-orang penting yang memiliki jabatan tinggi?

Do a lot of things for nothing!

Christie ingat, dulu ketika ia masih CPNS, pernah suatu kali ia sampai harus pulang jam tiga pagi dari kantor. Penyebabnya adalah revisi KAK dan RAB yang tidak selesai-selesai. Entah kenapa waktu itu semua proposal selalu mental. Hingga tiba saatnya deadline. Lalu tidak ada kompromi lagi. Pokoknya, KAK dan RAB harus beres. Titik!

Finalisasi draf memakan waktu berjam-jam yang bahkan rapatnya saja baru dimulai selepas magrib. Christie waktu itu ketiban sial karena masih berada di ruangan pada saat perintah untuk melakukan rapat pembahasan disampaikan melalui telepon ruangan. Akhirnya, ia terpaksa mendampingi pimpinan.

Orang-orang di kantor memang hobi rapat. Ide-ide selalu terlontar hingga diskusi menjadi berlarut. Dan tepat pukul sembilan malam, rapat memutuskan untuk kembali merevisi KAK dan RAB … untuk dikirim esok hari. Bisa kau bayangkan seperti apa penyusunan draf yang baru dibuat pukul sembilan malam? Lalu keesokan harinya, ternyata dokumen rencana kegiatan dan anggaran yang diajukan ke instansi yang mengurusi penganggaran pun mendapat koreksi yang cukup banyak juga. Lalu, apa gunanya bela-belain menyelesaikan draf malam-malam hingga menjelang pagi buta?

Christie ingat kalau saat itu, keesokan harinya, ia menemui Gya dan curhat sambil menangis. Nyaris seharian ia tidak berada di ruangan, sebodo amat dicari atasan! Sempat terbesit juga keinginan untuk mengundurkan diri. Tapi, kok, rasanya sayang? Sejak itulah Christie menjadi “bandel”. Keinginannya saat itu hanya satu: kabur. Dan beasiswa adalah jalannya. Sayangnya, rencana tidak berjalan mulus. Selanjutnya adalah “sejarah”.

Hanya saja, dari situ, Christie juga “belajar”. Bahwa ada banyak hal tidak masuk akal yang terjadi di birokrasi. Ada banyak absurditas yang seolah harus diterima meski mengorbankan akal sehat.

Lihat selengkapnya