Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #54

PERTEMUAN PERTAMA

Pagi itu, ruangan Bagian Kepegawaian tampak berantakan. Beberapa kardus tergeletak di lantai. Kardus-kardus itu berisi berkas-berkas berupa kertas yang diselipkan ke dalam ordner, map, atau ditaruh begitu saja. 

Seisi ruangan tampak sibuk. Sebagian besar personel Bagian Kepegawaian tampak hadir, tetapi tidak ada yang menyalakan komputer karena agenda hari itu adalah membereskan ruangan.

Surat keputusan yang menyatakan para pegawai harus pindah akhirnya keluar juga. Yang artinya, ruangan itu pun tidak akan lagi digunakan para pegawai—ex—Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah.

Pak Iwan tengah memilah-milah berkas dibantu Alfi. Memilah berkas bukan perkara sepele. Harus benar-benar diinventarisir agar nanti tidak sulit ketika membutuhkannya lagi. Apalagi, sebagian berkas tersebut merupakan berkas aktif.

Alfi mengamati satu per satu label yang tertera pada ordner untuk memilih ordner mana yang akan digunakan untuk menyimpan berkas-berkas yang menumpuk di depannya. Dan matanya berhenti di sebuah label. Dahinya sontak mengernyit dan raut wajahnya menunjukkan kebingungan.

“Pak, ini untuk file apaan? Kok, tulisannya ‘rujuk’?” Alfi bertanya kepada Pak Iwan.

Pak Iwan menoleh. “Oh, itu kumpulan berkas untuk kasus perceraian pegawai.”

Alfi terbelalak. “Kenapa malah ditulis 'rujuk'?” Alfi kembali membaca label yang tertera pada ordner. Mungkin saja ia salah baca.

“Nggak enak kalau ditulis ‘cerai’.” Pak Iwan menaruh sebuah map ke dalam kardus. “Lagipula, langkah pertama penanganan kasus permohonan perceraian PNS adalah meminta mereka kembali untuk rujuk. PNS itu wajib untuk berusaha menjaga keutuhan rumah tangganya. Ada, kok, di peraturan.”

Alfi menatap kagum pada Pak Iwan. Untuk urusan peraturan-peraturan terkait kepegawaian, Pak Iwan boleh dibilang sebagai “kamus berjalan”. Ia sudah hafal di luar kepala. Kalaupun lupa, ia selalu tahu di mana harus mencarinya. Pak Iwan adalah rujukan untuk konsultasi masalah kepegawaian. Mulai dari staf biasa hingga kepala kepegawaian, bahkan sesditjen, semua bertanya pada Pak Iwan.

Hanya satu hal yang Alfi masih tidak mengerti. Yaitu, kenapa orang seperti Pak Iwan kariernya mandeg? Hingga usianya yang sudah melewati kepala lima, status Pak Iwan masih saja staf. Memang, sih, pendidikannya hanya setingkat SMA. Namun, jika gelar S-1 begitu dibutuhkan untuk mendapatkan jabatan, mengapa Pak Iwan tidak diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah? Ah … entahlah. Ada banyak hal dalam birokrasi yang ia tidak mengerti. Masalah reorganisasi dan mutasi massal saja sudah membuatnya pusing begini.

Para kru Bagian Kepegawaian masih sibuk ketika seorang pegawai wanita masuk ruangan. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang hitam, serta jilbab berwarna merah muda yang dililitkan di leher. Sebuah name tag tergantung di lehernya, tertulis nama "Rina Kusuma, S.Si.". Matanya tampak celingukan dan raut wajahnya begitu gelisah. Ketika melihat para pegawai yang tengah sibuk dengan berkas, ia sepertinya memutuskan untuk keluar lagi saja. Untungnya, Pak Iwan segera menoleh dan mencegahnya.

“Eh, Mbak Rina. Ada apa?” sapa Pak Iwan.

Rina, pegawai itu, tidak menjawab. Raut wajahnya semakin menunjukkan kebingungan. Bahkan, terkesan seperti ingin menangis.

Pak Iwan pun berdiri dan menarik sebuah kursi ke hadapan Rina. “Duduk, Mbak.” Pak Iwan mempersilakan. 

Rina pun duduk. Wajahnya jelas tampak galau. 

Pak Iwan juga menarik sebuah kursi dan duduk. “Mau minum dulu, Mbak?” Pak Iwan lalu menoleh ke Alfi. “Fi, tolong ambilkan Aqua gelas.”

“Oke, Pak.”

“Nggak usah, Fi,” cegah Rina.

Lihat selengkapnya