Perjalanan Dinas (Napak Tilas)

Nadya Wijanarko
Chapter #56

EPILOG

14 Januari 2024


Seorang pria muda tampak menunggu dengan gelisah. Mobilnya terparkir di depan sebuah bandara besar nan megah. Ia memang ditugaskan untuk menjemput tamu. Dari Jakarta, tepatnya. Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan pesawat kurang lebih memakan waktu selama satu jam. Sama dengan durasi perjalanan darat dari kota menuju bandara New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo yang memakan waktu kurang lebih satu jam juga.

Pria itu melirik jam di ponselnya. Harusnya, sih, sudah sampai. Kecuali kalau pesawatnya delay. Tapi, rasanya tidak mungkin aparat pemerintah di Jakarta menggunakan maspakai penerbangan yang memiliki semboyan late is our nature. Meski, yah … mungkin saja, sih. Anggaran perjalanan dinas saat ini tengah menjadi sorotan. Jika bisa dihemat dengan menggunakan maskapai yang lebih murah, mengapa tidak?

“Mas Fajar!” 

Sebuah suara membuat pria muda itu menoleh. Rupanya dari arah pintu bandara. Seorang pria muda yang sebaya dengannya tampak menghampiri.

“Sudah lama menunggu, Mas?” Pria muda itu bersalaman dengan Fajar.

“Nggak, kok, Mas Argha.” Fajar tersenyum. “Apa ada barang yang mau ditaruh di bagasi?”

Argha kemudian menoleh ke belakang. Tampak seorang pria muda datang menyusulnya. “Ini Joshua, temen saya.” Argha memperkenalkan pria muda itu.

Fajar dan Joshua pun bersalaman.

“Ada barang, Mas?” tanya Fajar.

“Ini saya pangku saja. Sedikit, kok.” Joshua memperlihakan tas ranselnya. “Bu Etty, tuh, yang bawa barang lumayan banyak.” Joshua menoleh ke belakang.

Pintu otomatis bandara kembali terbuka. Kali ini, keluar seorang wanita berjilbab berusia sekitar 40 tahunan akhir yang berjalan sambil menarik kopernya. Ia bersama Christie yang justru tampak sibuk dengan ponsel di tangannya.

Fajar dengan cekatan membuka bagasi mobil MPV mewah yang dibawanya dan memasukkan koper milik Bu Etty dan Christie.

Keempat orang dari Jakata itu kemudian masuk mobil. Joshua duduk di belakang, sedangkan Argha duduk di depan di samping Fajar. Bu Etty dan Christie duduk di tengah.

Mobil kemudian melaju menyusuri Jalan Lintas Selatan Selatan. Jalan Lintas Selatan Selatan di bagian Temon, Kulonprogo, memang “dipotong” sebagian untuk keperluan pembangunan bandara baru. Sebagai ganti, dibangun jalan underpass yang konon terpanjang yang pernah ada di Indonesia.

Mobil sendiri tidak melewati underpass. Namun, Fajar sepertinya sengaja membelokkan kendaraan ke selatan.

Nuansa modern yang terlihat pada kompleks Bandara NYIA berganti dengan suasana perdesaan. Jalanan tampak lurus terbentang dengan hamparan sawah di kiri dan kanannya. Lalu lintas tampak relatif ramai meski mobil tetap bisa dipacu dengan kecepatan sedang.

“Mau langsung ke hotel atau mau cari makan dulu?” tawar Fajar.

Bu Etty menoleh dan bertanya pada Christie. “Bagaimana, Bu Christie? Mau langsung atau mampir dulu?”

“Eh?” Christie seperti tersadar. Sedari tadi fokusnya memang ke ponsel, sih. “Terserah teman-teman saja bagaimana enaknya.”

“Undangannya jam berapa, sih?” tanya Bu Etty lagi.

“Malam, kok. Makanya, siang ini kita bisa jalan-jalan dulu.” Joshua yang menjawab.

“Untung aja temenmu itu nikahnya hari ini. Kok, kebetulan bertepatan sama kegiatan kita besok. Sekalian aja kita datangnya sekarang,” ujar Bu Etty.

“Mungkin dapat hari baiknya sekarang, Bu.” Argha menimpali.

Christie hanya tersenyum, tetapi tidak menanggapi. Karena, ia memang tengah fokus pada lawan bicaranya di seberang ponsel. Sudah lama sekali ia tidak bertemu, soalnya. Sudah hampir sembilan tahun lamanya.

Bagaimana, Bu? Mau ketemu di mana jadinya? Jam berapa?

Sebuah pesan kembali masuk. Christie pun langsung membalasnya.

Saya aja yang ke tempatmu, Fit. Mumpung dekat.

Christie kemudian beralih ke Fajar. “Mas, ini lewat selatan, kan?”

“Iya, Bu,” jawab Fajar.

“Bisa mampir dulu ke Goa Cemara?” pinta Christie.

“Ah! Iya! Kita makan seafood dulu di pantai!” usul Argha.

“Setuju!” timpal Joshua.

“Mas Fajar ikut, ya?” ujar Argha.

“Siap, Mas.” Fajar tertawa.

“Tapi saya nggak ikut, ya,” ujar Christie.

“Yah … kenapa, Bu?” Argha tampak kecewa.

“Mau ketemu temen,” ujar Christie.

“Siapa, sih, Bu Christie? Kayaknya istimewa banget, ya?” Bu Etty tersenyum-senyum.

“Temen lama, Bu,” jawab Christie.

Namun, Fitra memang istimewa di mata Christie. Dan ia sangat merindukannya. Sembilan tahun telah berlalu sejak perjalanan dinas luar biasa dari Bandung ke Yogyakarta. Sudah lama dari semenjak pemerintahan baru terbentuk dan kini sudah akan ganti presiden lagi. Pertemuannya kembali dengan Fitra—nanti—bagi Christe serasa napak tilas perjalanan dinasnya yang dulu.

Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat. Ada banyak hal yang terjadi. Termasuk hal-hal tidak terduga. Misalnya saja, Christie akhirnya memutuskan untuk ikut pindah ke Kementerian Perencanaan Wilayah. Ia menolak berganbung ke dalam tim yang bertugas menyusun draf organisasi untuk membentuk badan pengganti Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah yang dibubarkan. Untuk apa Christie terlibat? Biar saja dipegang oleh Iqbal dan Raffi. Bukankah selama ini Ferdi selalu potong kompas ke mereka?

Lihat selengkapnya