14 Januari 2024
Seorang pria muda tampak menunggu dengan gelisah. Mobilnya terparkir di depan sebuah bandara besar nan megah. Ia memang ditugaskan untuk menjemput tamu. Dari Jakarta, tepatnya. Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan pesawat kurang lebih memakan waktu selama satu jam. Sama dengan durasi perjalanan darat dari kota menuju bandara New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo yang memakan waktu kurang lebih satu jam juga.
Pria itu melirik jam di ponselnya. Harusnya, sih, sudah sampai. Kecuali kalau pesawatnya delay. Tapi, rasanya tidak mungkin aparat pemerintah di Jakarta menggunakan maspakai penerbangan yang memiliki semboyan late is our nature. Meski, yah … mungkin saja, sih. Anggaran perjalanan dinas saat ini tengah menjadi sorotan. Jika bisa dihemat dengan menggunakan maskapai yang lebih murah, mengapa tidak?
“Mas Fajar!”
Sebuah suara membuat pria muda itu menoleh. Rupanya dari arah pintu bandara. Seorang pria muda yang sebaya dengannya tampak menghampiri.
“Sudah lama menunggu, Mas?” Pria muda itu bersalaman dengan Fajar.
“Nggak, kok, Mas Bayu.” Fajar tersenyum. “Apa ada barang yang mau ditaruh di bagasi?”
Bayu kemudian menoleh ke belakang. Tampak seorang pria muda datang menyusulnya. “Ini Joshua, temen saya.” Bayu memperkenalkan pria muda itu.
Fajar dan Joshua pun bersalaman.
“Ada barang, Mas?” tanya Fajar.
“Ini saya pangku saja. Sedikit, kok.” Joshua memperlihatkan tas ranselnya. “Bu Etty, tuh, yang bawa barang lumayan banyak.” Joshua menoleh ke belakang.
Pintu otomatis bandara kembali terbuka. Kali ini, keluar seorang wanita berjilbab berusia sekitar 40 tahunan akhir yang berjalan sambil menarik kopernya. Ia bersama Christie yang justru tampak sibuk dengan ponsel di tangannya.
Fajar dengan cekatan membuka bagasi mobil MPV mewah yang dibawanya dan memasukkan koper milik Bu Etty dan Christie.
Keempat orang dari Jakarta itu kemudian masuk mobil. Joshua duduk di belakang, sedangkan Bayu duduk di depan di samping Fajar. Bu Etty dan Christie duduk di tengah.
Mobil kemudian melaju menyusuri Jalur Jalan Lintas Selatan, alias JJLS. Christie menengadah sekilas dan tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian yang dulu. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia melewati JJLS. Bahkan, sebelum bandara baru dibangun pun ia sudah pernah melewatinya. Dulu sekali. Hanya saja, waktu itu perjalanan terpotong sebelum memasuki Yogyakarta. Ya. Waktu itu ... yang menjadi perjalanan dinas terakhirnya bersama Fitra.
Ada banyak yang berubah di jalur paling selatan ini. Pastinya lebih ramai semenjak hadirnya bandara. Lainnya, ada perubahan yang disesuaikan dengan bandara. Misalnya, JJLS di bagian Temon, Kulonprogo, “dipotong” sebagian, dan sebagai ganti, dibangun jalan underpass yang konon terpanjang yang pernah ada di Indonesia.
Mobil sendiri tidak melewati underpass. Underpass sudah lewat di belakang–tepat di bawah komplek bandara yang luas. Namun, Fajar sepertinya sengaja membelokkan kendaraan ke selatan.
Nuansa modern yang terlihat pada kompleks Bandara NYIA berganti dengan suasana perdesaan. Jalanan tampak lurus terbentang dengan hamparan sawah di kiri dan kanannya. Lalu lintas tampak relatif ramai meski mobil tetap bisa dipacu dengan kecepatan sedang.
“Mau langsung ke hotel atau mau cari makan dulu?” tawar Fajar.
Bu Etty menoleh dan bertanya pada Christie. “Bagaimana, Bu Christie? Mau langsung atau mampir dulu?”
“Eh?” Christie seperti tersadar. Sedari tadi fokusnya memang ke ponsel, sih. “Terserah teman-teman saja bagaimana enaknya.”
“Undangannya jam berapa, sih?” tanya Bu Etty lagi.
“Malam, kok. Makanya, siang ini kita bisa jalan-jalan dulu.” Joshua yang menjawab.
“Untung saja kita bisa mengajukan kegiatan luar untuk survei pendahuluan. Jarang-jarang ada kegiatan di awal tahun, soalnya. Untung saja kita masih ada saving dari sisa anggaran tahun lalu.” Bu Etty tampak menghela napas lega.
“Yah … mau bagaimana lagi, Bu? Mungkin dapat tanggal baiknya memang sekarang,” timpal Bayu.
Christie hanya tersenyum mendengar obrolan tersebut. Tetapi ia tidak menanggapi. Karena, ia memang tengah fokus pada lawan bicaranya di seberang ponsel. Sudah lama sekali ia tidak bertemu, soalnya. Sudah hampir sembilan tahun lamanya. Sampai sudah mau memilih ganti presiden lagi bulan depan.
Bagaimana, Bu? Mau ketemu di mana jadinya? Jam berapa?
Sebuah pesan kembali masuk. Christie pun langsung membalas pertanyaan yang datang beruntun itu dengan singkat.
Saya aja yang ke tempatmu, Fit. Mumpung dekat.
Christie kemudian beralih ke Fajar. “Mas, ini lewat selatan, kan?”
“Iya, Bu,” jawab Fajar.