Deburan ombak sayup-sayup terdengar meski pemandangan laut terhalang rimbunan cemara. Hamparan pasir membuat suasana laut kian terasa. Sesekali, terdengar pula suara anak-anak yang seperti tengah bermain dengan gembira.
Lahan ini memang milik privat. Tepatnya, milik kampus tempat Fitra saat ini bekerja. Sebuah bangunan kecil berdiri di sisi timur, difungsikan sebagai kantor, mungkin merangkap tempat istirahat juga. Namun, Christie memilih untuk duduk lesehan di tikar yang digelar di halaman. Beberapa wadah berisi makanan ringan dan minuman dalam kemasan botol tampak ditaruh di tengahnya.
Fitra tampak duduk menemani sambil sesekali matanya menatap Juna yang tengah meladeni Emile–putra semata wayang mereka–bermain bola. Tampak keduanya begitu gembira, meski sesekali wajah Emile tampak merengut karena gagal menghalau bola yang ditendang Juna.
“Ini tempat apa, Fit?” Christie mengedarkan pandangannya.
“Salah satu properti kampus, Bu. Kami sedang melakukan penelitian tentang wilayah pesisir.” Fitra membuka sebuah botol air mineral dan menenggak isinya. “Kantor ini dipakai terutama kalau ada proyek. Kebetulan kali ini saya yang pegang. Ada kerjaan juga. Sekalian saja saya ajak anak biar main-main di pantai sama bapaknya. Mumpung hari Minggu,” jelasnya.
Tampak kali ini Emile semringah karena tendangannya berhasil membobol penjagaan Juna. Tentu saja Juna hanya pura-pura gagal. Yang penting, Emile merasa senang.
“Sekarang saya sudah tidak mengurusi kepegawaian lagi. Sudah sejak pindah, sih,” cerita Christie.
“Senang, dong?” Fitra menoleh.
“Kenapa?” Christie balik bertanya.
“Kan, dulu katanya Ibu pengen balik lagi ke kerjaan teknis?”
“Oh, itu.” Christie tertawa. “Saya nggak terlalu memikirkan itu lagi. Karena, PNS itu, kan….”
“Harus bersedia ditempatkan di mana saja.” Fitra memotong, kemudian tertawa kecil.
Christie kembali tertawa.
“Kamu sendiri kayaknya sangat menikmati pekerjaanmu yang sekarang.” Christie kembali berkata.
“Mungkin karena saya bisa lebih memberikan makna, Bu.” Fitra tersenyum. “Seperti yang dulu pernah saya bilang, saya ingin memberikan makna. Saya tidak ingin PNS hanya sekadar status.”
Fitra kembali menerawang. Suara-suara bocah yang tengah bergembira bermain air laut di lokasi wisata yang ada di sebelah persis sesekali tertimpal suara Emile yang begitu fokus dengan bolanya. Entah apakah Emile tertarik untuk menekuni sepakbola. Kalaupun iya, kira-kira dari mana ia mendapatkan bakat bermain bola, ya? Soalnya, kedua orang tuanya cenderung ke akademis.
“Teman-teman juga terpencar ke unit-unit lain,” tambah Christie. “Rata-rata pada promosi. Dulu, sih, banyak yang naik menjadi eselon IV. Yang baru sebentar menjabat eselon IV pun banyak yang dinaikkan ke eselon III karena waktu itu memang banyak jabatan kosong.” Christie memberi tahu.
"Iya." Fitra mengangguk-angguk. "Saya juga mendengarnya. Banyak yang langsung naik jabatan begitu SK BKN keluar." Fitra menunduk sambil memutar botol minumannya, lalu menoleh. "Kalo Bu Christie sendiri?”
Christie terdiam dan membiarkan semilir angin pantai menerpa wajahnya. Sejuk sekali. Ingin rasanya ia memejamkan mata barang sebentar.
“Begini-begini aja, Fit.” Sorot mata Christie tampak menerawang. “Saya jalankan apa adanya saja.”
Fitra menatap mantan bosnya itu. Tentu saja ia juga tidak menutup telinga terhadap selentingan-selentingan yang beredar. Soal karier Christie yang dihambat, misalnya. Rasanya tidak masuk akal.
Teman-teman seangkatan Fitra saja sudah mulai banyak yang promosi menjadi eselon III, minimal disertakan ke dalam diklat administrator. Teman-teman seangkatan Christie, seperti tadi dibilang, rata-rata langsung naik menjadi eselon III begitu pindah kementerian. Sedangkan Christie masih saja di tingkat yang sama seperti 10 tahun silam.
“Kamu bahkan sudah menyusul saya, Fit.”
Fitra pun mengernyit. “Menyusul apaan, Bu?” Fitra lagi-lagi bingung.
“Lanjut S-3.” Christie tertawa.
Oh! Fitra pun ikut tertawa.
“Sebagai akademisi, itu udah kewajiban, Bu,” timpal Fitra. “Mau jadi apa saya kalau tidak melanjutkan S-3?” Fitra kemudian tampak menunduk sebentar sebelum kembali melanjutkan. “Ibu mau saya berdebat dengan Ferdi atau Rudi?”
“Eh?” Christie terkejut. Kenapa tiba-tiba Fitra menyebut dua nama itu?
"Saya berani diadu dengan mereka. Saya tidak sama seperti yang dulu. Dengan syarat, mari adu pemikiran, bukan adu kekuasaan atau jabatan." Fitra menatap Christie. “Saya tahu yang terjadi di Jakarta. Menurut saya, apa yang mereka lakukan sudah kelewatan. Mereka itu pengecut. Mereka punya kekuatan, tapi malah menggunakan tangan orang lain….”
“Sudahlah, Fit.” Christie balas menatap mantan bawahannya itu.