Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #2

1 - TANGERANG SELATAN: Sebelum Subuh

9 Maret 2015


Portal di sebuah klaster perumahan elite kawasan Bumi Serpong Damai–BSD–itu masih melintang menutup jalan. Hari memang masih gelap, bahkan azan subuh pun belum berkumandang. 

Seorang petugas keamanan tampak duduk meringkuk di kursi pos. Tubuhnya berselimutkan sarung. Sesekali, mulutnya menguap. 

Tampak jam yang tertempel di dinding menunjukkan pukul empat pagi. Lebih sedikit, tetapi jelas masih sangat pagi.

Sebuah televisi menyala, tetapi si petugas tampak tidak terlalu peduli. Tangannya sendiri berkali-kali memindahkan saluran melalui remote. Sepertinya, ia hanya membutuhkan televisi itu untuk membunuh sepi. Sendirian berjaga di tengah malam ada kalanya membuat bulu kuduk merinding, memang.

Petugas yang berjaga sebenarnya dua orang. Namun, yang satu lagi tengah berkeliling memeriksa keamanan para penghuni yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas itu.

Klaster ini sebenarnya aman. Pintu masuknya hanya satu. Kendaraan para penghuni pun ditempel stiker. Apabila ada tamu berkunjung, tamu tersebut diminta untuk menyerahkan kartu identitasnya untuk ditukar dengan semacam kartu tanda pengunjung. Entah apakah ini berlaku juga untuk para pedagang keliling, yang pastinya juga dibutuhkan keberadaannya oleh para penghuni klaster tersebut.

Segregasi itu memang nyata adanya. Jika kau pernah berkunjung ke BSD, pasti kau pun akan merasakan seperti “pindah” negara. Negara maju, tentunya. Bagaimana tidak? Jalan-jalannya begitu rapi dan lebar. Pohon-pohon peneduh berdiri menjulang. Bangunan-bangunannya ditata apik. Lalu tempat-tempat perbelanjaannya begitu nyaman untuk nongkrong berjam-jam. Bentuk arsitektur bangunan-bangunannya pun sungguh sedap dipandang mata. Enak tinggal di sini, memang. Syaratnya hanya satu: punya UANG.

“Pemirsa, guna melaksanakan program kerja pemerintahan yang baru, presiden terpilih telah menandatangani beberapa peraturan yang akan berdampak pada perubahan nomenklatur beberapa kementerian dan lembaga. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat membuat kinerja pemerintahan menjadi lebih efektif.”

Terdengar suara pembawa berita dari televisi masih saja menyala. Rupanya, saluran telah berpindah ke siaran berita. Kali ini, jempol petugas keamanan berhenti. Tampaknya ia lebih tertarik dengan berita ketimbang sinetron. Apalagi, ini adalah berita politik–tentang kebijakan yang diambil presiden yang baru sekitar setahun lalu terpilih melalui pemilu. 

Pemilu 2014 memang berbeda. Tiba-tiba saja semua orang menjadi melek politik. Semua orang seakan dipaksa untuk bersikap. Bahkan, dalam satu titik, pilihan netral menjadi haram laiknya syair Dante Alighieri dalam Inferno: kerak neraka paling dasar diperuntukkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat terjadi krisis moral. Setidaknya, itulah yang tercermin ketika para mahasiswa sebuah kampus besar di Bandung–sekitar setahun lalu–berunjuk rasa menentang kehadiran salah seorang (diduga) bakal calon (yang akhirnya benar-benar mencalonkan diri dan menjadi presiden) untuk memberikan kuliah umum dan menuntut kampus untuk netral. Alih-alih menuai pujian, justru hujatan bertubi-tubi yang mereka terima–karena sang bakal calon adalah “idola” dan harapan rakyat Indonesia saat ini (konon).

Lihat selengkapnya