Chevrolet Aveo perak melaju di jalanan yang masih lengang. Sesekali tampak beberapa kerlip di tengah gelap; sebagian berasal dari lampu jalan, dan sebagian lainnya dari kendaraan yang sesekali lewat. Sayup-sayup terdengar suara azan subuh dari kejauhan, pertanda fajar mulai menyingsing.
Terlihat orang-orang yang mulai menggelar lapak di pinggir jalan. Beberapa jenis penganan telah terpampang di atas meja: sandwich isi, risoles, aneka kue dan roti, dan lainnya. Tentu saja termasuk juga aneka jajanan tradisional “merakyat”, yang sepertinya akan menjadi menu wajib para abdi negara, sesuai dengan himbauan menteri yang mengurusi aparatur bahwa para PNS–Pegawai Negeri Sipil–harus memilih penganan lokal dibanding impor. Meski … benarkah penganan “impor” yang dijual para pedagang itu benar-benar “impor”?
Wanita yang tadi dipanggil “Bu Yos” masih menatap keluar dari jendela mobil yang dibiarkan terbuka. Matanya sesekali mengerjap, pertanda tidurnya belum cukup. Meski demikian, ia tampak tetap berusaha menjaga matanya tetap terbuka. Semilir angin menerpa wajahnya, dan membuat sebagian rambutnya jatuh menutupi dahi.
Semakin lama, sepertinya semakin pagi pula orang mengawali aktivitasnya. Dampak dari sebuah “kemajuan” ketika orang-orang memburu peruntungan di kota yang konon lebih menjanjikan. Kota yang terbatas akhirnya memaksa orang untuk menyingkir ke pinggiran. Jarak semakin jauh dan arus pun semakin padat. Sayangnya, kota tidak mau menurunkan egonya. Ia tetap memaksa orang untuk mengikuti ritmenya setiap hari. From eight to four, or nine to five. Lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing paling cepat pukul sembilan malam. Begitu terus setiap hari.
Orang-orang yang tetap ingin bertahan di kota harus menyesuaikan diri. Konon, manusia adalah makhluk yang paling mudah beradaptasi. Mengawali aktivitas sebelum matahari terbit mungkin salah satunya. Mengurangi jam biologis untuk beristirahat adalah salah lainnya.
Sebuah suara menyentak perhatian. Rupanya ponsel yang berdering. Ada pesan masuk, tertulis pesan singkat di layar:
Christie, BSD-Bandung, berangkat 04.45, seat 4A.
“Dari siapa?” Yos menoleh dan bertanya. Sepertinya ia juga mendengar bunyi barusan.
“Dari travel. Cuma reminder. Berangkat jam 04.45.” Christie melihat jam di ponselnya yang tertulis 04.30. “Masih lima belas menit lagi, kok. Tempatnya juga sudah dekat.”
…
Aveo perak itu berbelok memasuki sebuah komplek pertokoan, kemudian berhenti dan parkir di depan sebuah ruko. Tampak beberapa mobil, kebanyakan armada travel, yang juga terparkir.
Christie mengambil tas cangklong yang diletakkan di jok belakang dan memeriksa isinya. Surat undangan, laptop, tablet, surat tugas dan berkas-berkas perjalanan dinas. Lengkap. Ia lalu membuka pintu.
“Tidak ada yang tertinggal, kan?” tanya Yos.
Christie menggeleng, lalu keluar. Yos ikut keluar juga.
“Cuma sehari, kan?” tanya Yos lagi.
Christie mengangguk.
“Cuma rapat doang, kenapa harus ke Bandung segala, sih? Memangnya di Jakarta saja tidak bisa?” Suara Yos seperti memprotes.
Kali ini Christie menengadah. Ia menatap lekat pria yang sudah bersamanya lebih dari 10 tahun itu. Masih tetap tampan dan gagah. Masih dengan lesung ala Takeshi Kaneshiro yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati. Masih dengan sikapnya yang selalu melindungi, seperti yang dilakukannya pada hari ini ketika ia bersedia bangun dini hari hanya untuk mengantarnya ke pool travel.
“Yang punya kantor bukan saya, Mas. Kalau boleh memilih, saya juga maunya di Jakarta saja.” Christie menanggapi dingin. Pertanda ia pun sebenarnya capek, terutama pada bulan-bulan belakangan ini.