Sebuah taksi memasuki halaman kantor pemerintahan. Tampak papan nama kantor tersebut:
Balai Diklat Wilayah IV, Kementerian Infrastruktur, Jl. Jawa No. 4141-A, Kota Bandung, Jawa Barat.
Rimbunan pohon tampak di sekeliling sehingga komplek bangunan itu terkesan sejuk dan asri. Bagian tengah komplek dilapis konblok untuk masuk kendaraan. Tampak kendaraan-kendaraan yang terparkir memenuhi sela-sela di antara garis yang memanjang. Beberapa kendaraan berpelat merah, dan sebagian lainnya berpelat hitam, tetapi dengan huruf B, diikuti empat digit angka, dan huruf RFS di belakangnya.
Christie keluar dari taksi dan berjalan menuju lobi, membaur dengan lalu-lalang para pegawai yang keluar-masuk. Sepertinya sebagian adalah peserta diklat–entah sedang ada diklat apa. Yang jelas, semenjak keluar aturan berpakaian kerja yang baru, pegawai biasa dan peserta diklat menjadi sulit dibedakan karena semuanya mengenakan pakaian sama: kemeja putih dan bawahan hitam. Mengikuti gaya berpakaian presiden baru terpilih yang senang berpenampilan sederhana dengan pakaian putih-hitam.
Konon, seragam putih-hitam juga menyiratkan kesederhanaan. Bahwa pegawai abdi negara sudah seharusnya mengedepankan gaya hidup sederhana.
Tentu ini di luar fakta bahwa kemeja putih pun ada yang harganya selangit. Namun, sebagai pegawai yang baik, mari teladani saja himbauan sang pimpinan tertinggi para PNS, yang juga diteruskan oleh Menteri Infrastruktur yang wajahnya terpampang pada poster banner besar disertai kalimat yang mengingatkan empat hal kepada para pegawai di lingkungan Kementerian Infrastruktur, ditulis besar-besar:
4 BIG NO’S:
NO BRIBERY
NO KICKBACK
NO GIFTS
NO LUXURIOUS LIFESTYLE
Christie berhenti untuk melihat poster besar yang dipasang di depan pintu yang penampilannya sangat mencolok. Bibirnya tersenyum getir. Ia sangat mengenal jelas pria berwibawa yang wajahnya terpampang.
Menteri Infrastruktur di kabinet pemerintahan yang baru, tak lain adalah mantan atasan tertinggi di unit organisasi tempat Christie bekerja: Direktur Jenderal Perencanaan Wilayah. Tepat ketika purnatugas, ia diangkat menjadi menteri. Ironisnya, justru 500 pegawai mantan anak buahnya harus hengkang. Tidak peduli meski mereka adalah yang pertama kali memberikan ucapan selamat.
“Chris! Udah lama sampainya?”
Sebuah suara diikuti tepukan di pundak sontak membuat Christie menoleh. Seorang wanita muda berusia pertengahan 30-an tahun dengan rambut pendek cepak, kemeja putih yang dilapis sweater abu-abu, celana hitam, dan memanggul tas ransel hitam Bodypack di sebelah pundaknya, tampak tersenyum.
“Gya!” Christie langsung memeluk Gya. “Kamu sampai sini jam berapa?” tanya Christie setelah melepas pelukannya.
“Baru aja.” Gya tersenyum.
Beberapa PNS berseragam putih hitam tampak ikut masuk. Sebagian menoleh dan menyapa.
“Eh, udah sarapan belum?” tanya Gya.
Christie tidak menjawab. Hanya alisnya yang terangkat.
“Sarapan dulu aja, yuk.” Gya menarik tangan Christie dan melangkah keluar.
“Eh?” Christie agak tersentak. Namun, ia tetap mengikuti langkah Gya yang menariknya keluar.
“Masih lama, kan, rapatnya?” Gya menunjukkan jam tangannya. “Dah. Sarapan dulu aja. Sambil cerita-cerita.”
“Cerita apaan?” Christie bingung.
“Ya apaan, kek. Gimana rasanya jadi eselon III.” Gya terus menarik Christie. “Nggak nyangka, temen seperjuangan gue dulu, sekarang udah jadi pejabat. Ciyeee….” Gya tertawa sambil menggoda Christie.
“Dih … apaan, sih? Biasa aja kali….”
Gya kembali tertawa.
…
Christie duduk dengan gelisah di depan Bu Ning. Ia tampak menunduk. Raut wajahnya menunjukkan sikap serba salah. Ia masih tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Bu Ning … ingin merekomendasikannya ke tim Baperjakat—Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat?
“Umurmu berapa, sih?” tanya Bu Ning.
“37 … mau 38 di tahun ini.” Christie menjawab canggung.
“Berarti kamu yang paling tua, kan?”
“Masih lebih tua Pak Iwan, Bu.” Christie mencoba bercanda.
Bu Ning tertawa. Pak Iwan memang pegawai paling senior di Bagian Kepegawaian. Dan yang paling paham juga tentang seluk-beluk urusan kepegawaian. Sayang, pendidikannya hanya sampai setingkat SMA. Makanya, sampai hampir usianya yang jelang pensiun ia masih berstatus sebagai staf biasa dengan golongan yang baru saja naik ke III/a. Mungkin lain ceritanya jika dulu ia menyempatkan diri untuk kuliah S-1. Entah kenapa ia tidak juga melanjutkan pendidikannya … dan entah kenapa pejabat-pejabat terdahulu tidak ada yang mendorongnya untuk melanjutkan kuliah, termasuk dengan beasiswa. Sungguh sayang, karena orang seperti Pak Iwan sebenarnya sangat potensial untuk organisasi.
Bu Ning menatap dalam Christie. “Saya melihat kamu punya potensi, Chris. Kamu bisa memimpin teman-temanmu.”
“Apa saya tidak terlalu muda untuk ini, Bu?” Nada suara Christie terdengar ragu.
“Kematangan, kan, tidak selalu harus tentang umur.”