Ruangan Bagian Kepegawaian tampak sepi. Hanya ada Alfi, yang bertugas di meja resepsionis, dan Pak Iwan, pegawai paling senior, yang tampak tengah menatap layar televisi. Yang lain entah ke mana. Entah ketularan unit-unit eselon III lain yang mendadak sulit dicari semenjak isu pemisahan berembus kencang, entah karena para pegawainya aji mumpung kabur dari ruangan karena induk semangnya tidak di tempat. Atau … mungkin hanya ingin menghindar saja.
Semenjak tersiar isu pemisahan, ruangan Bagian Kepegawaian adalah yang paling sering “diserbu”. Ada saja tingkah polah para pegawai itu. Mulai dari sekadar curhat, mendadak mengajukan pindah, atau bahkan melabrak dan marah-marah menolak dipindah.
Televisi di ruangan tampak menyala dan menayangkan liputan rapat kabinet bentukan Presiden yang mengambil lokasi di Yogyakarta. Beberapa pejabat tinggi negara dengan pakaian parlente tampak menghiasi layar kaca.
Pak Iwan begitu serius menonton berita. Begitu juga Alfi. Meski posisinya agak jauh, layar televisi masih terlihat dari tempatnya duduk. Hingga terdengar bunyi telepon berdering yang mengalihkan perhatian. Alfi dengan sigap segera mengangkat telepon di sampingnya.
“Halo. Dengan Bagian Kepegawaian dan Ortala Sekretariat Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah Kementerian Infrastruktur, ada yang bisa dibantu?” Alfi menyapa dengan kalimat standar.
“Alfi … bisa carikan saya tiket ke Yogya?”
Alfi mengernyit. Ia merasa mengenali suara itu. “Ini … Bu Christie, ya?”
“Iya … ada tiket ke Yogya untuk besok, nggak?”
Suara Christie di seberang terdengar panik.
Alfi melirik sebentar ke arah televisi. Tampak Pak Iwan masih bergeming menatap layar kaca.
“Naik apa, Bu?” tanya Alfi.
“Andong!”
“Ha?” Alfi terbelalak. Suaranya menarik perhatian Pak Iwan karena ia menoleh meski langsung kembali menatap layar kaca.
“Pake nanya segala! Ya pesawatlah!”
“Oh, iya. Hahaha … kirain ojek, Bu.” Alfi menjawab dengan tingkat kegaringan setara. Sepertinya huru-hara isu mutasi massal telah membuat nyaris semua pegawai error, tak terkecuali Bagian Kepegawaian beserta bosnya.
“Sebentar, ya, Bu….” Alfi dengan sigap menggeser-geser mouse pada komputer di depannya dan mulai mengetik juga. Gagang telepon dijepitnya di antara bahu dan kepala.
“Wah, kalo untuk besok ... full!” Alfi memindahkan tangan kirinya dari keyboard untuk kembali memegang gagang telepon.
“Ya udah. Besoknya lagi.”
Alfi kembali mengetik. Kali ini hanya dengan tangan kanannya yang bergantian dengan memegang mouse.
“Sama, Bu. Full juga.”
“Waduh. Kenapa, ya?”
“Entah, Bu,” jawab Alfi.
“Ya udah, coba besoknya lagi. Pokoknya, paling lambat hari Jumat saya sudah harus ada di Yogyakarta.”
Jemari Alfi kembali lincah menari di atas keyboard. Ia kembali browsing, mencari-cari info tiket menuju Yogyakarta. Suara ketukan pada keyboard berpadu dengan siaran berita rapat kabinet yang masih berlangsung penayangannya di televisi. Pak Iwan pun masih bergeming dengan serius.
“Wah, Bu … kok, penuh semua, ya?” Alfi bingung.