Seorang pria yang bertugas menjaga loket tampak tengah mengobrol santai dengan rekannya yang bertugas mengumpulkan berkas. Sesekali mereka tertawa. Sesekali pula mereka menatap ke depan.
Lobi kantor kini sepi. Hanya tampak Christie dan Gya yang tengah duduk di sofa yang berhadapan persis dengan loket.
Gya menatap teman yang sudah dikenalnya sejak belasan tahun lalu itu, sejak mereka masih menjadi CPNS—Calon Pegawai Negeri Sipil. Gya sangat mengenal Christie. Hubungan pertemanan mereka memang dekat meski tidak pernah berada di unit organisasi yang sama. Bahkan, ketika Gya mulai bertualang menjajal balai-balai di luar Jakarta, mereka tetap saling kontak.
“Chris?” panggil Gya.
Christie menoleh dengan ogah-ogahan.
“Jangan terlalu memaksakan diri,” ujar Gya.
“Maksudnya?” Christie tampak menggeliat seperti ingin membetulkan posisi duduknya, tetapi ia malah semakin menyandar.
Gya kembali menatap temannya itu. Dari gesturnya, ia tahu persis Christie pasti sangat capek. Memang, sih, masih Senin. Namun, Gya juga paham dengan gejolak yang tengah terjadi di instansi tempatnya bekerja–isu yang semakin santer terdengar itu.
“Kalau nggak ada tiket, ya nggak usah berangkat. Nggak usah memaksakan diri gitu. Kamu juga nggak bawa lembar SPPD, kan?”
Christie kembali menghela napas. “Urusan kayak gitu gampang. Biasanya juga SPT sama SPPD bisa menyusul. Jangankan menyusul. Tahu-tahu ada di depan mata untuk ditandatangani, meski sayanya lupa apakah pernah ke situ, juga sering.” Ada nada sinis dalam kata-katanya. Tapi memang benar, kok. SPT—Surat Perintah Tugas—kadang disusulkan jika kegiatannya sangat mendesak. Sedangkan untuk lembar SPPD—Surat Perintah Perjalanan Dinas….
Pendeknya, orang-orang yang menangani proyek selalu punya cara untuk memperoleh cap basah di lembar SPPD.
Gya mencoba berempati. “Ditjen Perencanaan Wilayah benar-benar akan berpisah, ya?”
Christie menoleh sekilas, lalu menjawab malas-malasan. “Tanya Pak Ferdi aja.”
“Kenapa?” Gya tidak mengerti.
“Bukannya udah jadi rahasia umum, ya?” Christie kembali menoleh sekilas. “Pak Ferdi, kan, pengen jadi menteri. Menteri Perencanaan Wilayah.”
Gya terbelalak. “Hah?”
“Tapi, kalo jabatan menteri itu terlalu tinggi, paling enggak jabatan eselon I … dapatlah.” Christie tertawa sinis.
Gya menatap Christie dengan raut wajah semakin kebingungan. “Pede bener dia pengen jadi menteri?” Gya menggeleng-geleng.
“Namanya juga orang ambisius, Gy.” Christie lagi-lagi sinis. “Semua juga tahu kalau dia yang paling getol melobi.”
“Jadi, rapat di Yogya besok itu untuk membahas pemisahan ditjen?” Gya mencoba menyimpulkan.
Christie mengangkat bahu. “Entah. Aku nggak ngerti. Setahuku, draf organisasi untuk kementerian baru udah final.”
Gya kembali terbelalak. “Jadi, semua tinggal tunggu sah saja?”
Christie, untuk kesekian kalinya, menghela napas. “Munculnya Kementerian Perencanaan Wilayah pada saat pengumuman kabinet kerja itu hanya puncak. Salah besar kalau kamu berpikir bahwa orang-orang baru kelabakan setelah pengumuman kabinet.” Christie kembali menoleh. “Tidak ada yang namanya isu. Semua sudah direncanakan. Bahkan jauh sebelum pemilu.”
Gya menatap Christie dengan penuh kebingungan. “Berarti … lobi Pak Ferdi itu…?”
Christie tersenyum sinis. “Orang kayak dia itu jaringannya ke mana-mana. Nggak usah heran kalau dia bisa menyusup ke tim pembentukan kabinet baru. Semua dugaan ke arah situ.”
Gya kembali menyandar. Pandangan matanya jadi ikut menerawang. Tentu saja Gya juga tidak menutup mata dan telinga terhadap isu-isu yang terjadi. Pemisahan Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah hanya seperti membenarkan selentingan yang sering terdengar bahwa orang-orang di sana sudah lama merasa berbeda dengan unit-unit organisasi lain di Kementerian Infrastruktur.
Tidak seperti unit organisasi lainnya, produk yang dihasilkan Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah adalah software seperti rencana, kebijakan, atau peraturan. Bukan fisik seperti unit organisasi lain, misalnya sarana dan prasarana permukiman yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Prasarana Permukiman Wilayah. Konon, perbedaan itulah yang memunculkan pemikiran untuk berpisah dari Kementerian Infrastruktur.
Para PNS di Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah terkenal vokal. Meski tentu saja tidak semua. Hanya saja, mereka adalah orang-orang yang memiliki akses untuk bersuara: para pejabat, para pemegang proyek, para pegawai yang merasa diuntungkan dengan proyek. Merekalah yang selalu ada di barisan terdepan pada setiap rapat-rapat pembahasan. Hanya saja, apakah para “vokalis” itu merepresentasikan suara seluruh pegawai?
Gya menatap ke arah lorong yang menghubungkan dengan pintu. Beberapa pegawai tampak mulai masuk kembali. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.45. Sepertinya banyak yang sudah selesai istirahat dan kembali ke ruang kelas masing-masing untuk bersiap mengikuti materi berikutnya. Meski ngaret masih tetap menjadi kebiasaan, beberapa diklat menerapkan aturan disiplin yang ketat. Sebagian pegawai tampaknya mulai takut dengan ketegasan panitia.
“Aku aja yang terlalu naif, Gy,” lanjut Christie.
Gya kembali menoleh. Tampak sahabatnya itu seperti semakin tidak bersemangat.
Mata Christie kembali seperti menerawang. “Aku hanya menjalankan perintah. Dari sejak awal … aku cuma menjalankan perintah.”
Gya menyandarkan punggungnya. “Kamu termasuk yang setuju dengan pemisahan itu?”
“Aku bertugas untuk mengawal reorganisasi sampai selesai,” jawab Christie. Nada suaranya terdengar tidak bergairah.