Gya menyetir perlahan menyusuri Jalan Sumbawa. Mobil bergerak menuju utara. Kendaraan-kendaraan tampak merayap padat di antara pepohonan rindang dan rumah-rumah kuno bergaya Belanda.
Gya menatap sekilas ke kaca spion di atasnya. Tampak Christie dan Fitra yang duduk di belakang–Fitra di sebelah kanan dan Christie si sisi kiri. Keduanya tampak tidak berbicara–belum.
Gya akhirnya mengambil inisiatif untuk menyetir. Kaki Fitra pasti pegal, atau jangan-jangan sedikit keram akibat hukuman setengah jongkok tadi. Habis, polisinya iseng juga. Bilangnya, sih, sepuluh hitungan. Faktanya, ternyata ada selipan koma. Entah berapa hitungan total jadinya. Perkiraan Gya, mungkin ada 20-an.
Ada yang bilang, konon perasaan senasib dapat menyatukan hati. Termasuk ketika sama-sama menjadi korban. Makanya, kadang istilah “korsa” dipelesetkan menjadi “korban sama-sama”.
Sejak kemarin, Gya merasa janggal dengan interaksi di antara kedua temannya itu. Sampai tadi pagi pun mereka masih terlihat canggung. Lalu malah mendapatkan hukuman dari polisi. Kalau masih saja kaku, ah … entahlah! Gya tidak tahu lagi!
“Eh, yang tadi seru, lho.” Gya mencoba memancing percakapan.
Christie akhirnya merespons juga. “Malu-maluin.” Ia mendengkus.
“Lumayan, pagi-pagi udah olahraga.” Fitra pun bersuara.
Gya melirik sekilas kembali ke kaca spion. Ia pun tersenyum.
Christie menoleh. Tampak Fitra yang masih menatap keluar, tetapi bibirnya mengulum senyum tipis.
“Masih pagi, tapi baju udah basah keringat.” Christie seperti protes.
“Masih mendingan, Bu. Pas outbond yang dulu, saya lebih lama lagi. Ada beberapa menit, kali.” Fitra menanggapi.
Christie diam saja. Kalau sudah pakai mindset mendang-mending begini, argumen apapun pasti kalah.
“Oh, ya?” Gya melirik spion, tetapi bayangan Fitra tidak terlihat karena duduk di sisi belakangnya persis. “Kenapa, tuh?”
“Saya?” Fitra memastikan. Namun, tanpa menunggu jawaban ia langsung melanjutkan. “Ketahuan ngumpetin HP,” jawab Fitra.
Christie kembali menoleh.
“Sebenarnya, sih, karena lupa tidak menyerahkan HP. Tapi panitianya bilang saya menyembunyikan HP. Ya sudah.” FItra meralat.
“Terus kamu dihukum sendirian, kan?” tambah Christie.
Fitra tertawa. “Seperti yang dulu pernah saya ceritakan itu, Bu.”
Christie menatap Fitra. Sama sekali tidak ada raut kekesalan di wajah Fitra ketika ia menceritakan pengalamannya yang dulu itu. Padahal, ia dihukum sendirian … karena peserta lain tidak ada yang mengaku!
“Kenapa waktu itu kamu tidak membela diri?” tanya Christie.
“Buat apa?” Fitra balik bertanya. “Apapun yang saya katakan, tetap saja saya dianggap salah, kan?”
Christie pun terdiam. Ada nada sinis dalam kata-katanya. Lebih baik tidak usah ditanggapi.
“Untung tadi kita nggak disuruh ‘sikap tobat’.” Fitra tertawa geli.
Ha? Wajah Christie tampak terkejut. “Apalagi itu? Kamu nggak pernah cerita?”
“Nggak usah, ah.” Fitra kembali tertawa geli. “Tapi kalo yang ini saya nggak sendiri, sih. Walau saya juga nggak salah-salah banget sebenernya. Gara-gara ada yang menyelundupkan mi instan pas makan pagi, hasilnya satu meja kena hukuman semua, deh.” Fitra kembali tertawa.
Christie memelotot.