Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #13

12 - BANDUNG: Secercah Ingatan

Menurut para ahli sejarah tata kota, Bandung asli adalah yang berada di bagian utara. Batasnya adalah rel kereta api. Adapun di bagian selatan adalah wilayah pengembangan. Itu sebabnya, Bandung bagian selatan terasa lebih semrawut. Dampak dari urban sprawl yang sepertinya memang menjadi penyakit di berbagai tempat di Indonesia, bukti bahwa perencanaan tidak dilakukan secara matang. Kesemrawutan itu, terutama terasa pada lalu lintasnya. Bahasa gampangnya: MACET.

Setidaknya, itulah yang terlihat di Jalan Gatot Subroto. Padahal masih pagi, tetapi kendaraan-kendaraan sudah berbaris antre. Dan barisan semakin padat ketika mobil melewati Trans Studio Mall–TSM. Karena jalanan yang tadinya dua lajur menyempit menjadi satu. Efek tutup botol, istilahnya. Kian terhambat ketika terlihat beberapa angkutan kota yang seenaknya berhenti di pinggir jalan. Siapa yang salah?

“Memangnya, bengkelnya udah buka?” Gya tampak mengawasi jalan. Ia harus berhati-hati berkendara di jalan sepadat ini. Tadi katanya lokasi bengkel ada di seberang TSM. Berarti ada di sebelah kanan jalan, kan?

Fitra tidak menjawab. Namun, matanya tampak serius memindai satu per satu bangunan yang ada di kanannya. “Itu, Mbak.” Fitra menunjuk ke arah depan. Tampak sebuah papan nama besar berlambang singa di depan bangunan yang sekilas terlihat kecil.

Gya mengikuti arah telunjuk Fitra yang menyelip di sampingnya, lalu menyalakan lampu sein ke kanan. Mobil mulai melambat dan moncongnya perlahan menyembul ke lajur sebaliknya. Seorang pria paruh baya kemudian dengan sigap melompat ke tengah jalan dan menghentikan kendaraan-kendaraan yang akan lewat. Mobil pun masuk ke halaman bengkel yang ternyata luas itu, dan berhenti di belakang sebuah sedan biru tua dengan tulisan “406” di bagian atas tutup bagasinya. Di samping, terparkir sebuah mobil jenis MPV yang mereknya terkenal di Indonesia.

Fitra keluar dari mobil, diikuti kedua temannya. Mereka kemudian berjalan masuk ke bagian dalam bengkel. 

Seorang pria bertubuh gempal dengan warna kulit terang tampak tengah berbicara dengan seorang pria dengan tubuh lebih kurus, kulit gelap dan berkumis yang mengenakan jaket kulit hitam.

“Bawa aja dulu ECU-nya ini, Om. Dicoba dulu aja.” Pria bertubuh gempal itu berkata.

Pria berkumis tampak menimang-nimang benda–electronic control unit–di tangannya itu. “Tapi ini masih bagus, kan?”

“Bagus, kok.” Pria gempal meyakinkan. “Memang itu copotan dari Singapura. Makanya harganya murah, cuma 2,5 juta. Murah, kan? Tapi dijamin bagus. Soalnya, banyak yang pakai. Kalau mau yang baru dan ori, itu harganya bisa 10 juta.”

“Wah, mahal, ya?” Pria berkumis itu mengerutkan dahi. Tangannya masih menimang-nimang benda itu.

“Ini saya kasih garansi enam bulan. Kalau ada masalah, bisa dikembalikan ke sini.” Pria gempal itu kembali meyakinkan.

“Iya, deh. Saya bawa dulu aja kalo gitu, ya?” Pria berkumis itu mengangguk-angguk. “Nuhun, ya, Pak.” Ia berbalik, dan bersirobok dengan Fitra. Ia tampak memperhatikan Fitra, juga Christie dan Gya yang berdiri di belakangnya.

Fitra tersenyum.

Mangga, Teh.” Pria itu berpamitan, lalu menuju mobil MPV populer yang diparkir. Sebelum membuka pintu, ia sempat melirik sekilas ke sedan putih milik Fitra. Ada beberapa detik sebelum ia akhirnya masuk mobil dan pergi.

“Eh, Teh Fitra. Naon, Teh?” Pria gempal itu menghampiri Fitra dan menyalaminya.

“Ini, Pak Saepul.” Fitra lalu menunjuk mobilnya yang berada di belakang 406 biru tua. “Seatbelt-nya bermasalah. Nggak bisa ditarik,” jelas Fitra.

“Ha?” Pria Gempak yang dipanggil Pak Saepul itu terkejut. “Masa?” Ia kemudian berjalan menuju mobil.

“Yang di kursi penumpang, Pak.” Fitra mengikutinya.

Pak Saepul kemudian membuka pintu dan menarik sabuk pengaman pada kursi penumpang. Macet.

“Wah, iya ini.” Pak Saepul tampak beberapa kali menarik tali sabuk pengaman tersebut. “Bisa gawat ini kalo sampai kena razia.”

Fitra hanya meringis, lalu melirik Christie.

“Beneran, Teh. Ini lagi musim razia. Ada banyak polisi di jalan-jalan. Kalau sampai kelihatan nggak pakai sabuk pengaman bisa ditangkap. Beritanya juga ramai, kok.”

Lagi-lagi Fitra hanya bisa menunduk. 

“Saya cek dulu saja, Teh.” Pak Saepul berdiri, lalu memanggil salah seorang mekanik.

Mekanik itu menghampiri dan mulai mengecek. Ia masuk mobil dan menarik-narik sabuk pengaman di sisi penumpang. Talinya tidak bergerak sama sekali. Ia pun menggeleng.

“Harus dibongkar ini,” lapor si mekanik.

Christie, untuk kesekian kalinya, langsung menunjukkan ekspresi cemas.

“Butuh waktu berapa lama, Pak?” tanya Fitra.

“Nanti siang paling selesai,” jawab Pak Saepul.

Nanti siang.

Christie langsung tampak lemas. 

Fitra menunduk. Ia jelas merasa tidak enak pada Christie.

“Kami tunggu di luar aja, ya, Pak?” ujar Fitra.

“Mau tunggu di mana?”

“Paling di TSM.” Fitra menunjuk arah belakangnya.

Lihat selengkapnya