Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #14

13 - BANDUNG: Dialektika

Suara menghentak memenuhi ruang-ruang kafe yang masih lowong. Dentuman drum membaur dengan rentetan lirik yang keluar dari mulut, dengan bahasa Korea yang rasanya tak seorang pun–di kafe–paham.

Fitra melirik sekilas ke arah televisi. Tampak sekelompok pria muda menari dinamis dengan tata cahaya yang begitu cepat berganti. Fitra pun kembali beralih. Ia merasa tidak nyaman dengan tayangan di layar kaca. K-Pop memang bukan seleranya, sih. 

Christie, yang duduk di depannya, masih terlihat gelisah. Kali ini, Fitra pun ikut gelisah. Bagaimanapun, Christie pasti tengah memikirkan pekerjaan yang ditinggal di kantor. Meski Fitra juga sangat membenci yang dikerjakan Christie saat ini.

Draf reorganisasi Direktorat Jenderal Perencanaan Wilayah–itulah yang tengah dikerjakan Christie dan timnya. Dan itulah yang menjadi pangkal-muasal berpisahnya unit organisasi dari Kementerian Infrastruktur. Lalu 500 orang pegawainya ikut terseret. Termasuk Fitra.

“Teman-teman … apa kabar, Bu?”

Christie menengadah. Tampak Fitra menurunkan koran yang dipegangnya. Sorot matanya tampak gugup, lalu menunduk.

Christie tidak langsung menjawab. Ia lebih tertarik melihat bahasa tubuh Fitra yang seperti menyiratkan perasaan bersalah.

“Teman-teman….” Christie berhenti sebentar. Ia benar-benar penasaran dengan reaksi Fitra. Sayang, Fitra hanya menunduk. “… kerja seperti biasa.”

Fitra tampak terdiam. Air mukanya semakin menunjukkan kegelisahan. “Yang tadi itu Alfi, kan?” Akhirnya keluar juga suaranya.

Christie masih menatap Fitra. Kali ini dengan tatapan lebih tajam. “Kirain kamu udah nggak peduli lagi sama kantor, Fit.”

“Kalian juga nggak peduli sama saya, kan?” Fitra menengadah. Kali ini Fitra tampak berani balas menatap Christie, dengan sorot mata yang sama tajamnya.

“Jangan terlalu keras kenapa, sih?” sindir Christie.

“Keras?”

“Sikapmu terlalu keras, Fit. Kamu pikir cuma kamu yang kena dampak dari isu mutasi ini?”

Fitra semakin tajam menatap Christie. “Kalau begitu, kenapa kalian lanjutkan pekerjaan itu?”

Christie tidak menjawab.

“Perintah atasan?” tembak Fitra. “Atasan yang mana? Menteri Infrastruktur? Yakin?”

Christie lagi-lagi tidak menjawab. Kalau Fitra sudah seperti ini, artinya ia dalam kondisi siap untuk mendebat siapapun. Dan akan panjang. Christie tidak dalam kondisi siap saat ini. 

Gya hanya terdiam sambil memperhatikan kedua temannya yang mulai panas itu. Sinkron dengan musik K-Pop yang masih diputar dengan vokal menyentak–Gya yakin lirik lagu tersebut mengandung protes meski ia tak paham sama sekali bahasa Korea. Pakem boyband memang sudah bergeser, tidak seperti dulu ketika mereka–para pemuda tampan dengan tampilan stylish–begitu mendayu menyanyikan lagu cinta.

“Sudahlah, Bu. Memangnya apa, sih, arti seorang Fitra?” Fitra terdengar sinis. 

“Saya bukan siapa-siapa. Bukan pejabat, bahkan bukan pegawai andalan kesayangan bos-bos juga.” Fitra menutup koran di tangannya. “Diskusi, tuh, sama Raffi. Atau Iqbal. Dan lainnya yang termasuk ‘Tim Khusus’.” Fitra menjentikkan sebelah tangan hingga membentuk tanda petik. “Mereka orang-orang pintar. Nggak kayak saya yang bolak-balik bikin masalah terus.” Tangannya lalu mengambil gelas berisi es tehnya, lalu dan menenggak habis isinya. 

“Tapi, kalau Ibu bilang saya keras, rasanya saya perlu sedikit meralat.” Fitra melipat koran yang sedari tadi dipegangnya. “Saya bukannya keras. Saya hanya tidak suka melihat ketidakadilan. Entah di Palestina,” ujar Fitra sambil meletakkan koran di atas meja, tampak terlihat di bagian atas halaman muka koran sub judul liputan khusus tentang perang Gaza. “Entah di kantor kita,” lanjutnya.

Fitra kemudian berdiri dan melengos keluar.

Ruang tunggu bengkel tampak melompong. Hanya ada Fitra yang dengan leluasa. membuka laptopnya. Ia duduk di sofa dengan tatapan serius yang tertuju pada laptop yang ia taruh pada meja kecil di depannya.

Kuliahnya memang sudah terlambat. Seharusnya, ia sudah bisa lulus pada Agustus lalu. Dan sudah aktif lagi di kantor pada September sebagaimana durasi tugas belajar yang hanya 13 bulan. Memang, sih, perkuliahan jenjang S-2 normalnya berlangsung dua tahun, biasanya dengan kompensasi keterlambatan selama maksimal satu tahun–tergantung kebijakan masing-masing kampus juga. Namun, program beasiswa dari salah satu lembaga pemerintah yang diikuti Fitra sudah merancangnya sedemikian rupa sehingga bisa diselesaikan hanya dalam waktu 13 bulan–tidak seperti program reguler yang 24 bulan. Instansi tempat kerja pun rasanya tidak mau terlalu lama melepas pegawainya di luar. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan banyak yang mengantre beasiswa juga.

Fitra sebenarnya tidak berniat terlalu lama kuliah. Apalagi, materi perkuliahan untuk tiga semester–khusus untuk para PNS penerima beasiswa–nyatanya bisa-bisa saja dipadatkan. Lagipula, mengerjakan tesis bisa disambi juga dengan mengambil mata kuliah sisa. Kalaupun terlambat, setidaknya cukup 18 bulan saja. 

Kalau masih terlambat juga, mau tidak mau harus mengikuti jadwal kelas reguler yang semester terakhirnya harus dibayar sendiri. Ini pun harus seizin instansi, dan status tugas belajar menjadi izin belajar. Yang artinya, Fitra sudah aktif kembali di kantor dan hanya sesekali izin ke Bandung–harusnya.

Sungguh, Fitra sama sekali tidak berniat untuk mengambil keuntungan “libur colongan” memanfaatkan masa tugas belajarnya. Namun, dinamika di tempat kerja telah membuyarkan konsentrasinya. Lagipula, mau kembali ke kantor yang mana?

Tangan Fitra tampak lincah menggerak-gerakkan mouse. Sayangnya, otaknya hari ini tidak terlalu lincah berpikir. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan Christie! Gara-gara tadi bersitegang, isi kepalanya buyar.

Sebuah televisi berlayar cembung di pojok ruangan tampak menyala, entah siapa yang menyalakan karena sudah menyala sejak Fitra masuk. Mungkin sebelumnya ada orang di ruangan ini. Atau mungkin istri Pak Saepul yang menyalakannya. Istrinya memang selalu menyambangi bengkel setiap hari untuk mengantarkan makan siang.

Televisi tampak menayangkan siaran berita. Entah berita apa, karena kedua telinga Fitra tersumpal Sennheiser. Kabelnya menyambung pada laptop. Adapun kedua earphone-nya tersembunyi di balik jilbab biru. Ia memang biasa bekerja sambil mendengarkan musik. 

Ya. Musik. Tidak salah, kok. Fitra memang menyukai musik. Mungkin agak meleset dari bayangan kebanyakan akhwat yang biasanya anti musik. Dan kau akan terkejut kalau melihat playlist yang kerap terpampang pada Winamp-nya: Oasis, Green Day, Linkin Park, Audioslaves, 30 Seconds To Mars, bahkan yang lebih lawas macam Nirvana, Pearl Jam, atau Soundgarden. Yang agak soft paling Coldplay. And NO boybands. 

Bagi Fitra, musik adalah stimulus paling manjur untuk merangsang otak bekerja. Hanya saja, pertengkaran dengan Christie sepertinya tidak mampu ditembus Liam Gallagher dan kawan-kawan. 

Sebenarnya bukan pertengkaran tadi, sih, penyebabnya. Melainkan akumulasi dari beban pikiran yang mengendap di kepala selama berbulan-bulan. Semenjak pengumuman kabinet oleh presiden baru. Semenjak pergantian menteri di instansinya. Semenjak bos tertinggi di unit organisasinya “naik jabatan” dengan penunjukan langsung oleh presiden.

“Oiy! Serius amat?”

Fitra tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara. Ia pun melepas Sennheiser dan menoleh ke arah suara yang nyaris berteriak itu. Karena Fitra mendengarnya di sela-sela “American Idiot” yang memekak dari earphone, berarti orang itu pasti berteriak.

“Makan dulu, nih.” Ternyata Gya. Ia duduk di samping Fitra dan menyodorkan sebuah kotak makanan dengan merek sebuah restoran yang terkenal dengan masakan Jepang-nya.

Fitra tersenyum. “Makasih, Mbak.” Ia membuka kotak, kemudian mengeluarkan sumpit dari bungkusnya, mematahkannya, dan mulai bersantap.

“Christie yang beliin buat kamu. Katanya, kamu pasti milih yang bumbunya blackpepper,” terang Gya.

Fitra berhenti menyuap, kemudian menoleh.

“Kenapa?” tanya Gya.

Fitra menggeleng. “Makasih,” ujarnya pelan.

“Bilang terima kasihnya ke Christie, bukan ke saya.”

Fitra menunduk dan kembali menyantap makanannya.

Gya kemudian bersandar sambil matanya menatap layar televisi. Siaran berita masih berlangsung.

Lihat selengkapnya